Mencoba halaman baru

rss

3 berita pendidikan

5 Opini Terbaru

» script dari http://o-om.com/

Selasa, 24 November 2009

Dirgahayu Guru

M. Ridwan *)

Setiap tahun kita selalu memperingati hari Guru yang bertepatan tanggal 25 November. Selamat, saya ucapkan kepada segenap jajaran pendidik dan pengajar di seluruh Indonesia atas dedikasi dan pengabdiannya selama ini. Meskipun banyak permasalahan pelik selalu menghantam gejolak dan gairah seorang guru. Namun demikian niat dan tekat bulat mengalahkan itu semua. Guru selalu lumintu mendidik dan mengajari siswa agar mereka tidak bernasib sama seperti dirinya. Tak perlu mengomentari seluk beluk permasalahan seorang pendidik yang rumit, tetapi sejenak kita menengok kebelakang apa makna dari peringatan hari Guru dan esensi siapa yang disebut sebagai guru itu.

Keberadaan seorang guru di Indonesia sudah ada sejak zaman masa pra Aksara sampai sekarang. Guru pada masa pra aksara adalah seorang yang dianggap bisa mengendalikan alam dan kekuatannya. Maklum sebelum masa beragama di Indonesia, masyarakat percaya animism dan dinamisme. Kekuatan alam seperti angin, hujan, petir, atau gangguan hewan liar dan buas tidak sepenuhnya bisa ditangani oleh masyarakat masa pra Aksara. Mereka mencari perlindungan kepada seseorang yang dianggap memiliki kekuatan lebih untuk menghadapi semua ini. Seorang tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah guru yang sekaligus sebagai pemimpin atau ketua suku. Perkataan pemimpin/guru ini selalu diikuti dan dilaksanakan. Pemimpin ini tentu mengajari hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan keseharian. Pemimpin ini sangat dihormati dan dihargai. Pemimpin ini dipilih karena kekuatannya, mengayomi, kepandaiannya, adil, dan tidak takut apapun.
Masa para aksara berakhir di Indonesia dengan datangnya pengaruh Hindu-Budha. Pengaruh Hindu-Budha ini menggeserkan posisi ketua suku yang sebelumnya sebagai pemimpin dan guru bagi lingkungannya menjadi hanya seorang raja saja atau kasta Kstria. Posisi guru diambil alih oleh seorang pendeta / pendande / rsi / sulinggih / empu dari kasta Brahmana. Posisi ini tergantikan karena mereka yang dikatakan guru harus menguasai segala ilmu pengetahuan terutama tentang agama. Guru pada masa ini memiliki siswa yang diasramakan. Alasannya adalah perlu konsentrasi untuk mengajarkan kepada siswa tentang semua ilmu pengetahuan. Oleh karena itu dibangunlah sebuah asrama yang biasanya digabungkan dengan bangunan candi. Guru mengajarkan semua ilmu yang dimilikinya antara lain ilmu tentang agama, bela diri, perang dan sopan santun. Ajaran terakhir ini merupakan letak dasar kepribadian bangsa ini. Kepada yang lebih tua harus menghomati, dan kepada guru maupun orang tua harus lebih dihormati.
Pada abad 9 Masehi, Indonesia memasuki masa pengaruh Islam. Kedatangan Islam merubah tatanan social politik kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu juga dengan dunia pendidikan. Guru pada masa Islam datang diambil alih oleh seorang ustad / sunan / susuhunan / kyai. Sama sebenarnya dengan masa Hindu-Budha, perbedaannya terletak pada siapa yang bisa menjadi guru. Masa Islam ini siapa saja bisa menjadi seorang guru tidak terikat pada status sosialnya. Yang terpenting adalah seorang guru mampu menguasai ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya. Budi pekerti masih menjadi topic dalam keseharian guru dalam mengajari murid-muridnya. Budi pekerti ini adalah pelajaran gabungan dari ilmu agama dengan tingkah laku. Guru menjadi sentral dari system pengajaran Islam saat itu. Penghormatan luar biasa kepada guru adalah hal wajar dan utama masa itu. Belajar perlu tempat khusus yakni sebuah pemondokan, yang lebih kita kenal dengan pondok pesantren. Perkembangan pondok pesantren masa ini sangat luar biasa berkembangnya. Perkembangan ini karena kharismatik dan kepintaran seorang guru sehingga banyak sekali santri-santri yang ingin menimba ilmu pada dirinya.
Abad ke 15 merubah semua kondisi pendidikan Indonesia. Hal ini ditandai dengan kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia. Perubahan ini sangat terasa sekali karena system yang digunakan sangat bertentangan dengan ajaran kepribadian bangsa ini. Yang diperbolehkan sekolah hanya masyarakat yang status sosialnya tinggi. Guru juga diambilkan dari bangsa Eropa sendiri. Tetapi ada manfaat yang bisa dipetik dari system Eropa yang diterapkan ini, yakni kedisiplinan. Kedisiplinan adalah modal utama guru dalam mengajari siswanya. Menurut bangsa Eropa, belajar harus disiplin segalanya agar ketercapaian menyerap ilmu akan semakin mudah diterimanya. Guru sebagai sentral studi, harus mempunyai jiwa kedisiplinan yang tinggi. Sehingga profesi guru dipilih bukan seorang sembarangan.
Nah sampai pada masa kemerdekaan seperti saat ini, guru silih berganti mengalamai perubahan tujuan dan tuntutan. Guru tidak hanya dituntut pandai, disiplin, wibawa, tetapi juga sebagai contoh perilaku masyarakat sekitarnya. Tetapi masa sekarang guru bukan lagi sebagai profesi yang bonafit. Ketidak bonafitan ini dikarenakan tunjangan atau gaji sangat dibawah standart sebagai seorang profesional. Apalagi tingkat konsumtif masyarakat zaman sekarang sangat tinggi sekali. Tidak heran masyarakat memandang seorang guru sebagai profesi rendah. Tetapi dengan semangat pendahulu kita, guru harus mampu mengendalikan permasalahan masyarakat, disiplin, berwibawa, pandai, maka mari bangkitkan gairah tersebut. Selamat untuk kita semua.

*) Guru SDBI Al Hikmah Surabaya

Selasa, 27 Oktober 2009

Motivasi

Motivasi
Motivasi adalah dorongan psikologis yang mengarahkan seseorang ke arah suatu tujuan. Motivasi membuat keadaan dalam diri individu muncul, terarah, dan mempertahankan perilaku, menurut Kartini Kartono motivasi menjadi dorongan (driving force) terhadap seseorang agar mau melaksanakan sesuatu.
Motivasi ada dua, yaitu motivasi Intrinsik dan motivasi ektrinsik.

• Motivasi Intrinsik. Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.
• Motivasi Ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.
Motivasi yang ada pada setiap orang tidaklah sama, berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Untuk itu, diperlukan pengetahuan mengenai pengertian dan hakikat motivasi, serta kemampuan teknik menciptakan situasi sehingga menimbulkan motivasi/dorongan bagi mereka untuk berbuat atau berperilaku sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh individu lain/ organisasi.


Rabu, 21 Oktober 2009

Sumpah Pemuda, Indonesia Merdeka

M. Ridwan *)

Setiap tanggal 28 Oktober kita selalu memperingati hari Sumpah Pemuda. Tetapi setiap tahun juga kita seakan melupakan peristiwa Sumpah Pemuda itu sendiri. Kadangkala sebagai anggota masyarakat bangsa Indonesia, kita seakan cuek dan menganggap tidak penting peringatan-peringatan hari besar Nasional tersebut.

Padahal kita bisa menikmati Indonesia saat ini karena sebagian adalah perjuangan tokoh-tokoh pahlawan pendiri bangsa ini. Oleh karena itu kita harus tahu sedikit banyak tentang apa saja peristiwa yang melatarbelakangi peringatan hari besar nasional seperti Sumpah Pemuda kali ini.
ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL SEBELUM SUMPAH PEMUDA
Sebelum adanya peristiwa Sumpah Pemuda, sudah ada peristiwa-peristiwa bersejarah yang menjadi awal Indonesia bersatu, bangkit untuk melawan penjajahan Belanda. Para pelajar dan pemuda Indonesia sudah bisa berfikiran cerdas dan pintar untuk berjuang melawan Belanda. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi yang bersifat nasional. Memang berjuang bukan hanya melalui peperangan, tetapi bisa dengan cara mendirikan organisasi pergerakan untuk menentang Belanda.
Organisasi-organisasi pergerakan tersebut antara lain :
A. BUDI UTOMO
Kebangkitan Nasional merupakan hari dimana bangsa Indonesia pada tanggal 20 Mei 1908 telah terbentuk organisasi Pergerakan Nasional pertama di Indonesia. Organisasi pergerakan ini tujuannya adalah memajukan bangsa Indonesia melalui pendidikan dan pengajaran.
Organisasi pergerakan ini adalah Budi Utomo yang didirikan oleh para mahasiswa kedokteran Jawa, STOVIA (School tot Opleiding Inlandsche Arsten) di Jakarta. Budi Utomo dipelopori oleh Dr. Soetomo dan Dr. Wahidin Sudirohusodo.



Gambar 1.1. Dr. Sutomo dan Dr. Wahidin Sudirohusodo
Dua mahasiswa ini menginginkan perubahan pada kondisi rakyat Indonesia pada saat dijajah Belanda, terutama perubahan di bidang pendidikan. Sutomo dan Wahidin telah menyaksikan sendiri bahwa rakyat Indonesia masih banyak yang bodoh dan tertinggal. Hal ini dikarenakan mereka rakyat Indonesia tidak diberi kesempatan oleh Belanda untuk sekolah. Sekolah dibangun dan didirikan hanya khusus untuk rakyat yang memiliki uang yang banyak dan kaya. Padahal sebagian besar rakyat Indonesia sangat miskin dan tak mampu. Untuk makan saja tidak cukup apalagi untuk sekolah. Nah oleh sebab itu Dr. Sutomo dan Dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan Budi Utomo sebagai tempat bagi mahasiswa-mahasiswa lainnya yang ingin membantu pendidikan dan sekolah bagi rakyat Indonesia.
Kemudian dalam perkembangannya Budi Utomo memiliki anggota yang banyak bukan hanya dari mahasiswa STOVIA saja tetapi juga dari mahasiswa lain, pelajar, maupun golongan orang kaya. Budi Utomo juga berhasil mendirikan cabang-cabang dikota-kota lain di Indonesia seperti Yogyakarta, Surabaya, Magelang, dan Bogor.
B. SAREKAT ISLAM
Semula nama organisasi Sarekat Islam (SI) adalah Sarekat Dagang Islam (SDI). Sarekat Dagang Islam didirikan oleh Haji Samanhudi pada tahun 1911 di Solo Jawa Tengah. Tujuan utama didirikan organisasi ini adalah meningkatkan kesejahteraan bangsa di bawah naungan panji Islam. Anggota SDI adalah para pedagang pribumi atau pedagang masyarakat Indonesia. Sehingga organisasi ini juga sebagai tempat bersatunya para pedagang asli orang Indonesia. Secara tidak langsung organisasi ini juga mampu mengalahkan penguasaan para pedagang Cina maupun Belanda. Pada tahun 1912 SDI ini berubah nama menjadi SI yang diketuai oleh Haji Omar Said Cokroaminoto atau lebih sering disebut H.O.S. Cokroaminoto, dan pusat aktifitas kegiatan sehari-harinya dipindah ke Surabaya. Sarekat Islam berkembang dengan pesat, dengan dibuktikan pada tahun 1913 jumlah anggotanya mencapai 80.000 orang. Kemudian pada tahun 1918 anggotanya menjadi 450.000 orang.
C. MUHAMMADIYAH
Organisasi yang sama berdiri pada tahun 1912 adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan bukan untuk menyaingi organisasi SI. Tetapi untuk memajukan pendidikan bagi masyarakat dan kegiatan yang bertujuan untuk membantu kebutuhan hidup rakyat Indonesia akibat dijajah oleh Belanda. Muhammadiyah juga berusaha mengembalikan ajaran Islam yang berdasarkan Alquran dan Hadist. Wujud nyata Muhammadiyah membantu masyarakat yang perlu kalian ketahui adalah dengan :
a. Mendirikan sekolah-sekolah
b. Mendirikan rumah sakit
c. Mendirikan rumah anak yatim piatu
Jadi Muhammadiyah telah berhasil berjuang melawan kebodohan dan kemiskinan akibat penjajahan Belanda.

D. INDISCHE PARTIJ
Pada masa penjajahan Belanda seringkali rakyat Indonesia dijadikan budak/pembantu yang tidak dibayar. Ini karena Belanda menganggap rakyat kita adalah bangsa yang jelek dan bodoh. Warna kulitnya saja berbeda dengan warna kulit orang Belanda yang putih. Nah melihat ini semua ada sekelompok pemuda yang menamakan dirinya Tiga Serangkai mendirikan perkumpulan untuk menghilangkan anggapan tersebut. Perkumpulan yang dibentuk oleh Dr. Ciptomangunkusumo, Ernest Francois Eugene (E.F.E) Douwes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara diberi nama Indische Partij. Indische Partij dibentuk pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung dengan tujuan utama berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia tanpa perbedaan warna kulit, bangsa, suku, dan agama. Indische Partij juga mempunyai semboyan yang berbunyi “Indonesia bebas dari negeri Belanda”. Melihat kenyataan ini tentu saja penjajah Belanda sangat marah dan melarang berdirinya Indische Partij. Kalian tahu apa yang dilakukan Belanda untuk membubarkan Indische Partij? Ya penjajah Belanda menangkap tokoh Tiga Serangkai (Dr. Ciptomangunkusumo, Douwes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara) dan membuangnya di negeri Belanda. Dengan demikian berakhirlah perjuangan mereka untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
E. ORGANISASI PEMUDA
Organisasi pemuda yang dimaksud kali ini adalah perkumpulan yang didirikan oleh para pemuda pelajar yang sedang kuliah ataupun sekolah di Jakarta. Pemuda pelajar ini kebanyakan dari luar Jakarta seperti dari Sumatera, Jawa, Sulawesi ataupun Kalimantan. Melihat keberhasilan organisasi – organisasii pergerakan nasional yang telah terbentuk sebelumnya, maka para pemuda pelajar ini berkeinginan untuk membentuk suatu perkumpulan. Perkumpulan ini juga bertujuan mengakrabkan antar pemuda sedaerahnya. Berikut organisasi pemuda yang telah terbentuk :
TRI KORO DARMO
Perkumpulan pemuda ini dibentuk pada tanggal 9 Maret 1915 di Jakarta. Perkumpulan ini pada mulanya didirikan sebagai tempat berkumpulnya para pelajar yang merantau dari Jawa dan Madura. Tujuan utama perkumpulan Tri Koro Darmo adalah mempererat tali persaudaraan diantara pemuda pelajar dari Jawa dan Madura. Pada tahun 1918 nama Tri Koro Darmo diubah namanya menjadi perkumpulan pemuda Jawa atau sering disebut Jong Java. Sehingga anggotanya bisa terbuka bagi seluruh pemuda Jawa.
JONG SUMATERANEN BOND
Jong Sumateranen Bond adalah nama lain dari perkumpulan pemuda pelajar dari Sumatera. Jong Sumateranen Bond didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta. Tentu saja pendirinya adalah pemuda dari Sumatera. Tujuannya hampir sama dengan Jong Java, yakni mempererat hubungan dan persaudaraan antara pemuda pelajar dari Sumatera. Tokoh pemuda yang tergabung dalam Jong Sumateranen Bond antara lain M. Hatta, M. Yamin, dan lain-lain.
JONG MINAHASA
Pada tahun 1918 para pemuda pelajar dari Minahasa tak mau ketinggalan juga untuk mendirikan perkumpulan pemuda. Perkumpulan ini dinamakan Jong Minahasa atau perkumpulan pemuda Minahasa. Tujuan hampir pasti sama dengan perkumpulan pemuda lainnya yakni menggalang dan mempererat persatuan di kalangan pemuda pelajar dari Minahasa
JONG CELEBES
Ini adalah perkumpulan pemuda dari Sulawesi. Tujuan didirikannya juga sama, yakni mempererat tali persaudaraan pemuda pelajar dari Sulawesi yang berada di Jakarta.
KONGRES PEMUDA I
Tumbuhnya banyak organisasi pergerakan Nasional seperti yang sudah kalian baca pada bab sebelumnya, menimbulkan rasa kebangsaan dan persatuan di dada para pemuda Indonesia. Mereka yang tergabung dalam berbagai organisasi pemuda dan pelajar yang bersifat kedaerahan sangat mendambakan munculnya persatuan nasional dikalangan pemuda. Mereka menginginkan agar organisasi-organisasi yang ada melebur diri menjadi satu perkumpulan atau organisasi yang bersifat nasional.
Usaha yang mereka lakukan adalah harus diadakan pertemuan. Ide ini terwujud sehingga pada tanggal 30 April sampai dengan 2 Mei 1926 di Jakarta, diadakan Rapat Besar Pemuda-Pemudi Indonesia. Rapat ini dihadiri oleh perwakilan dari organisasi pemuda yang ada. Peristiwa itu dicatat sebagai Kongres Pemuda I. Kongres ini dihadiri oleh wakil-wakil dari berbagai organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Bataks, Jong Ambon, dan lain-lain. Yang memimpin Kongres I adalah Muhamad Tabrani. Tujuan Kongres I adalah membentuk perkumpulan pemuda dengan maksud :
a. Memajukan paham persatuan dan kebangsaan
b. Mempererat hubungan antara semua perkumpulan kebangsaan
Walaupun dalam Kongres Pemuda I belum berhasil mendirikan organisasi pemuda yang bersifat nasional, namun pemuda pelajar tidak berputus asa. Mereka tetap berusaha mendirikan sebuah organisasi yang bersifat nasional.
KONGRES PEMUDA II
Pada bulan Juni 1928, dibentuk sebuah panitia untuk persiapan Kongres Pemuda II. Panitia tersebut antara lain diketuai; Sugondo Joyopuspito, wakil ketua; Joko Marsaid, sekretaris; M. Yamin, dan bendahara; Amir Syarifudin. Panitia tersebut sering mengadakan pertemuan-pertemuan dan hasilnya adalah Kongres Pemuda II akan diadakan bulan Oktober. Kongres Pemuda II diselenggarakan mulai tanggal 27 Oktober 1928. Rapat pertama tanggal 27 Oktober 1928 diselenggarakan di gedung Katholieke Jongelingen Bond (gedung pemuda Katolik) di lapangan Banteng sekarang. Dalam rapat ini belum menghasilkan keputusan apapun, tetapi peserta rapat banyak sekali yang menyampaikan ide-idenya agar dibentuk sebuah Organisasi Pemuda Nasional. Rapat kedua diselenggarakan pada tanggal 28 Oktober 1928 pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB bertempat digedung Oost Java Bioscoop (sekarang Jl. Medan Merdeka Utara nomor 14). Dalam rapat kedua ini para pemuda sudah berhasil merumuskan ide-ide untuk mempersatukan pemuda Indonesia. Kemudian rapat dihentikan karena demi keamana. Maklum tentara Belanda banyak yang mendatangi lokasi rapat, sehingga rapat dibubarkan sementara.
Setelah dalam kondisi yang aman rapat dilanjutkan kembali. Kali ini rapat yang ketiga diselenggarakan tanggal 28 Oktober 1928 pukul 17.30 WIB bertempat di gedung Indonesch Clubhuis Jl. Kramat Raya nomor 106 (sekarang disebut gedung Sumpah Pemuda). Kongres Pemuda II ini dihadiri oleh lebih kurang 750 orang utusan dari berbagai organisasi pemuda yang ada. Kongres Pemuda II ini berjalan penuh gelora semangat persatuan nasional pemuda Indonesia. Sebagai harapan bangsa, pemuda-pemuda ini sangat mendambakan persatuan dan kesatuan dikalangan pemuda Indonesia sebagai modal mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Pemerintah penjajah Belanda merasa sangat cemas dan takut terhadap kegiatan kongres pemuda tersebut. Oleh karena itu jalannya sidang dijaga sangat ketat oleh tentara Belanda. Tetapi penjagaan tentara Belanda ini tidak menyurutkan semangat para pemuda untuk bersatu. Dalam kesempatan waktu istirahat, Wage Rudolf Supratman seorang wartawan dan pencipta lagu, minta izin kepada Sugondo Joyopuspito selaku ketua sidang untuk memperdengarkan lagu ciptaannya berjudul Indonesia Raya. Setelah mendapat ijin dari ketua sidang, W.R. Supratman tampil ke depan untuk memperdengarkan lagu Indonesia Raya ciptaannya. Bukan nyanyian yang dilantunkan, tetapi permainan biola yang dimainkan. Para hadirin sangat terpukau mendengar lagu Indonesia Raya yang dimainkan oleh WR. Supratman melalui gesekan biolanya tersebut. Demikianlah untuk pertama kali lagu Indonesia Raya dinyanyikan pada tanggal 28 Oktober 1928. Keputusan yang penting yang diambil dalam Kongres Pemuda II ini adalah ikrar “Sumpah Pemuda”. Isi sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928 adalah sebagai berikut :
1. Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia
2. Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
3. Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia
Ini berarti bahwa para pemuda Indonesia berjanji akan selalu bersatu tanpa membedakan ras, suku bangsa, agama, warna kulit, status, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Modal inilah yang bisa mengantarkan bangsa Indonesia nantinya merdeka, bersatu, berdaulat 17 Agustus 1945. Dengan demikian NKRI selalu terwujud tanpa perpecahan yang berarti.

*) Guru IPS SDBI AL Hikmah Surabaya

Rabu, 19 Agustus 2009

WIB atau BBWI sih?

Alex Murgito

Sejalan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1987, wilayah waktu di Indonesia dibagi menjadi tiga yang masing-masing dikenal oleh masyarakat dengan singkatan WIB, Wita dan WIT.

Bentuk kepanjangannya masing-masing adalah Waktu
Indonesia Barat, Waktu Indonesia Tengah, dan Waktu Indonesia Timur. Pada ungkapan itu kata barat, tengah, dan timur menerangkan kelompok kata waktu Indonesia dan bukan hanya menerangkan kata Indonesia. Dengan demikian, harus ditafsirkan bahwa yang dibagi adalah wilayah waktu, bukan wilayah (pemerintahan) Indonesia menjadi Indonesia Barat, Indonesia Tengah, ataupun Indonesia Timur.

Dalam penggunaannya di masyarakat muncul singkatan BBWI, alih-alih WIB. Ada yang menyebutkan kepanjangannya (a) Bagian Barat Wilayah Indonesia dan ada pula yang menyebutkan (b) Bagian Barat Waktu Indonesia. Kepanjangan (a) tidak mengacu ke wilayah waktu. Selain itu, Bagian Barat Wilayah Indonesia dapat ditafsirkan ‘daerah yang terletak di sebelah barat di luar wilayah Indonesia’ karena dalam urutan kata seperti itu kelompok kata bagian barat diterangkan oleh kelompok kata wilayah Indonesia. Kepanjangan (b) lebih kacau lagi tafsirannya karena kelompok kata bagian barat yang diterangkan oleh kelompok kata waktu Indonesia sulit dipahami maknanya. Dalam hal itu terjadi pembalikan urutan diterangkan-menerangkan.

Sehubungan dengan hal tersebut, Pusat Bahasa menganjurkan agar masyarakat pemakai bahasa Indonesia untuk tetap menggunakan ungkapan yang lazim dan benar menurut kaidah bahasa Indonesia. Dengan demikian, di dalam hal pembagian (wilayah) waktu di Indonesia, penggunaan singkatan yang benar adalah WIB (bukan BBWI).
(sumber Pusat Bahasa)

* Guru SDBI AL Hikmah Surabaya

Rabu, 12 Agustus 2009

Sukses Ujian, Prestasi Sekolah atau LBB?*

Mohammad Efendi **

Coreng hitam menghias muka pendidikan kita awal Mei ini. Pasalnya, seperti yang ramai diberitakan di media, beberapa sekolah gagal meluluskan siswanya. Bahkan ada sekolah di belahan timur Pulau Jawa yang gagal 100 persen. Setelah dirunut, ternyata siswa lebih mempercayai kunci jawaban palsu untuk diisikan di LJK (Lembar Jawaban Komputer), dibanding dengan hasil olah pikir mereka sendiri. Menyedihkan!
Padahal sekolah tersebut tergolong favorit. Solusi yang ditawarkan BSNP pun aneh, dan keluar dari rel. Mengapa demikian? Karena ujian ulang yang akan mereka gelar untuk siswa yang terbukti langcung tersebyut jelas-jelas tak ada dalam POS (Panduan Pelaksanaan Operasional) ujian. Jelas, hal ini menjadi perdebatan marak. Seperti yang kita ketahui, kelulusan SMP dan SMA sangat bergantung kepada hasil Unas mereka. Dan berpatokan pada ketetapan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), tahun ini, angka standar kelulusan sebesar 5,50.

Sementara itu, bagi siswa SD, kelihatannya tak banyak hal yang merintangi untuk dapat lulus. Karena kelulasan masih di tangan sekolah masing-masing. Bahkan boleh jadi, hasil UASBN pun masih bisa dinego sebagai syarat kelulusan. Karena, seperti penuturan Kepala Dispendik Kota Surabaya, Bapak Sahudi, standar komitmen kelulusan siswa SD metropolis ini “hanya “ 2,81. Angka itu didapat dari rata-rata standar kelulusan yang disetorkan sekolah kepada dinas pendidikan. Dan uniknya, meskipun nilai tersebut tergolong minim, itu pun masih bisa dilanggar oleh sekolah yang ngotot siswanya lulus.. “Sekolah boleh melanggar standar komitmen kelulusan tersebut, tapi harus melaporkan kepada kami,” ujar mantan kepala SMAN 15 itu.

Seiring dengan itu, guna meraih kelulusan maksimal, bulan-bulan lalu, sekolah telah mendesain pembelajaran untuk sukses ujian. Usaha gigih yang dipakai manajemen sekolah pun bermacam-macam. Mulai dari pematangan penguasaaan materi pelajaran, sampai mengarah ke spiritual. Les-les sepulang sekolah, atau tambahan jam pelajaran menjadi program yang wajar ada. Bahkan, jika tak ada, ada kalanya wali murid menanyakannya keseriusan sekolah dalam mempersiapkan anaknya untuk ujian. Demikain pula dengan upaya penguatan ruhani lewat shalat malam dan istigosah bersama. Luar biasa!

Namun, benarkah hajat tahunan ini hanya menjadi milik sekolah? Tentu tidak. Ada pihak lain yang turut “memanfaatkan” rutinitas ini untuk mengatrol bisnis mereka, yaitu LBB (Lembaga Bimbingan Belajar). Bagi LBB, momen ujian dimanfaatkan sebagai salah satu poin yang digemborkan ke orang tua untuk membelajarkan anaknya di LBB tersebut. Mereka menawarkan solusi bagi kekhawatiran orangtua akan prestasi belajar anaknya. Mudahnya, seolah mereka bicara, “Jika ingin sukses ujian, ikutlah bimbingan di LBB kami.” Bahkan berdasar penuturan beberapa teman, sudah bukan hal baru jika sekolah merangkul LBB untuk mengisi bimbingan pelajar di sekolah mereka. Jika sudah demikian, berati ada dua pemain yang menjadi katalis peningkatan kemampuan siswa: guru sekolah dan LBB.

Sehubungan dengan itu semua, wajarlah bila kemudian muncul pertanyaan. Bila anak sukses ujian, sedangkan sang anak ikut bimbingan belajar, itu prestasi siapa? Prestasi sekolah atau LBB? Atau semata-mata prestasi siswa? Inilah pertanyaan yang mungkin perlu direnungkan kembali. Bukan untuk menggugat sekolah atau LBB. Tapi lebih semacam upaya mempertanyakan peranan sekolah dalam melaksanakan amanah dalam mendidik siswa. Karena, bagimanapun juga, institusi inilah yang hendaknya didorong untuk mendidik siswa sesuai dengan fungsinya. Jangan sampai keberadaannya termarginalkan oleh LBB.

Tentu menjadi kebanggaan bagi sekolah bila ada siswanya yang meraih nilai UAN tertinggi di wilayahnya. Karena itu merupakan poin positif dalam melambungkan nama sekolah. Namun, benarkan prestasi itu muncul semata-mata sebagai buah upaya sekolah? Ini yang perlu dipertanyakan. Karena bukan tidak mungkin, ada faktor lain yang justru dominan mengalir di dalamnya. Misalnya, dengan nambah jam belajar di luar kelas. salah satunya lewat privat atau LBB. Inilah yang mestinya direkam secara kritis oleh wali murid di Metropolis. Hingga mereka benar-benar bisa memilih sekolah yang sesuai dengan anaknya. Bukan hanya berdasar kata orang, atau label favorit atau nonfavorit saja.

Luar biasa memang, penetrasi LBB ke dunia pendidikan sekarang ini. Kemunculannya yang dulu hanya dianggap sebagai teman belajar siswa, kini menguat menjadi instansi pendidikan itu sendiri. Ada beberapa nama LBB yang kini hadir di Surabaya. Ada yang memang hanya ada di Surabaya saja, namun ada pula yang tergolong LBB besar dan ternama. LBB tersebut telah sukses menjalarkan tangannya di kota-kota tanah air ini. Salah satunya Primagama yang familiar dengan wajah Rano “si Doel” Karno.

Guna menancapkan taringnya di sebuah sekolah, mereka tak segan-segan mengadakan try out gratis. Dan arahnya bisa ditebak, kegiatan ini ibarat kail yang akan menghasilkan bondongan siswa yang ikut nambah kaweruh di tempatnya. Dan jika siswa didikan mereka berhasil diterima di sekolah atau perguruan tinggi ternama (ITS, Unair, UGM, dll), mereka akan memampangkannya di depan tempat bimbingan. Mungkin sebagai pembakar spirit, atau menunjukkan prestasi yang telah dicapai.

Secara pragmatis, kehadiran LBB dan semacamnya dapat menjadi partner sekolah atau orang tua untuk meningkatkan prestasi anak didiknya di sekolah. Jika targetnya hanya kognitif saja. Misalnya sukses UAN, masuk perguruan tinggi, dll. Namun secara menyeluh, terdapat perbedaan mendasar antara keduanya. Yaitu, sekolah tak boleh hanya mengurusi kognitif, tapi juga harus mengembangkan psikomotor dan afektif siswa. Di lain pihak, biasanya ranah psikomotor dan afektif tak diurusi di lembaga-lembaga tersebut. Padahal, dua aspek itulah yang menjadi semangat KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang berganti nama dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).

Masalah pengelolaan pendidikan, dewasa ini memang tak lebas dari penggunaan jaringan. Maksudnya, perlu membangun jaringan kerja sama dengan lembaga-lembaga sejenis yang memiliki tujuan sama. Hingga sekolah yang bersangkutan mampu mengukur prestasi anak didiknya di antara siswa-siswa sekolah yang lain. Hingga, istilah jago kandang tak muncul di sekolah tersebut. Sekat-sekat tembok sekolah perlu disingkirkan sejauh mungkin. Sekolah lewat manajemen terukur harus mampu menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki tujuan sama dengan sekolah-sekolah lain. Jadi, jangan hanya bertarung sendirian. Tapi gunakan kemampuan kebersamaan untuk menyelesaikan masalah pendidikan. Apakah hanya dengan sesama sekolah saja kerja sama itu dibangun? Tak ada salahnya juga dengan LBB. Asalkan, tetap terkontrol.

Berkaitan dengan siswa yang ikut belajar di luar sekolah, secara umum, sikap sekolah di Surabaya cukup beragam. Ada sekolah yang membiarkan, bahkan merasa terbantu. Namun ada juga yang memohon orangtua untuk tetap memercayakan masalah pendidikan anaknya kepada sekolah. Fenomena kedua ini biasanya didasari pada tingkat kelelahan fisik dan emosi siswa yang telah belajar seharian di sekolah. Terutama sekolah berjenis full day. Lagi pula, tak semua masalah pelajaran di sekolah dapat diobati dengan les privat atau ikut LBB. Bisa jadi ada aspek lain yang menyebabkan anak kurang memahami pelajaran.

Namun, yang lebih penting dari itu semua adalah, sekolah harus mampu menunjukkan prestasi secara independen. Maksudnya, prestasi yang diperoleh sekolah haruslah benar-benar jerih payah sekolah. Bukan karena siswa belajar di tempat lain, lalu membuat harum nama sekolah.

efendialhikmah@yahoo.co.id

* Tulisan tersebut dimuat di Radar Surabaya, 8 Juni 2009
** Guru SDBI Al Hikmah Surabaya

Selasa, 14 Juli 2009

Perpustakaan Sekolah => MInat Baca ?

Ammar *)

Dalam perkembangan peradaban manusia, buku memang memiliki kekuatan yang dahsyat. Kendati demikian, kedahsyatan buku tentu tidak akan ada apa-apanya jika benda tersebut hanya dipajang, tidak pernah disentuh dan dibaca. Dan tampaknya, inilah masalah kita saat ini. Membaca merupakan kegiatan dan kemampuan khas manusia. Walaupun demikian,
kemampuan membaca tidak terjadi secara otomatis karena harus didahului oleh aktivitas dan kebiasaan membaca yang merupakan wujud dari adanya minat membaca.
Minat baca memang dapat dikaitkan dengan kemampuan membaca, dan kemampuan membaca berhubungan dengan bacaan. Oleh sebab itu, bacaan merupakan faktor penting yang perlu disediakan untuk mengasah kemampuan membaca untuk kemudian meningkatkan minat baca. Lemahnya kemampuan membaca, sangat boleh jadi karena kesempatan mengasah lewat bacaan masih langka, apakah karena alasan kesibukan, atau buku bacaan masih menjadi barang mahal. Perpustakaan walaupun bukan satu-satunya indikator minat baca, namun memegang kendali dalam hal memacu minat baca dalam kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang belum menempatkan bahan bacaan sebagai kebutuhan primer yang harus dipenuhi.
Kebanyakan atau bahkan hampir keseluruhan jumlah SD kita miliki jumlahnya sekitar 148.262 SD sedangkan jumlah 132.718 (89,5%) yang memiliki perpustakaan, sedangkan sekitar 15.544 (10,5 %) tidak memiliki fasilitas perpustakaan. Buku pelajaran dan buku bacaan umum tidak terkoleksi secara lengkap. Bahkan, banyak SD yang tidak memiliki ruang khusus untuk perpustakaan dan tidak memiliki petugas khusus yang mengelola perpustakaan. Dengan demikian, wajar saja kalau siswa SD kita tidak memiliki kebiasaan membaca yang memadai. Padahal masalah minat membaca merupakan persoalan yang penting dalam dunia pendidikan. Anak-anak SD yang memiliki minat membaca tinggi akan berprestasi tinggi di sekolah, sebaliknya anak-anak SD yang memiliki minat membaca rendah, akan rendah pula prestasi belajarnya (Wigfield dan Guthrie, 1997).
Untuk itu diperlukan adanya perberdayaan perpustakaan sekolah dengan fasilitas dan koleksi buku bacaan yang memadai khususnya sekolah dijenjang SD karena di usia ini pihak sekolah bisa membentuk dan menumbuhkan minat baca bagi siswa untuk keranjingan membaca dan siswa benar-benar memanfaatkan fasilitas perpustakaaan yang ada di sekolahnya. Tentu saja kerja sama oleh semua pihak sangat dibutuhkan antara lain kepala sekolah, wali kelas, guru pengajar, pustakawan, karyawan, wali murid serta peranan pemerintah untuk membantu dan memberikan motivasi kepada siswa. Marilah kita bekerja sama dan sama-sama bekerja untuk mewujudkan perpustakaan sekolah yang handal.

*) Pustakawan SDBI Al Hikmah

Kamis, 11 Juni 2009

Status SBI, Sebuah Renungan Bersama

Ratih Fitria Dewi *)

Tulisan ini saya buat ketika rekan-rekan saya sedang sibuk-sibuknya memperjuangkan sertifikasi. Ketika melihat mereka berjuang sekuat tenaga sehingga keluarlah niat saya untuk ikut “berjuang” keluar dari zone nyaman rutinitas sebagai guru, lalu coba-coba menulis, hitung-hitung sebagai trial & error semoga saja bisa memberi manfaat.

Ketika sekolah ini mendapat status sebagai Sekolah Bertaraf Internasional adalah sebuah rasa kebanggaan di hati karena ini untuk pertama kalinya sebuah lembaga yang bervisi dakwah melalui misi pendidikan memulai merintis jalur internasional. Bagaimana tidak ini berarti kita sudah berdiri sebagai umat yang bergabung dengan umat lain dibelahan bumi lain dalam ikatan internasional. Dan saya yang masih belum ada apa-apanya ini bisa pula terlibat di dalamnya.
Allah telah menegaskan posisi kita sebagai khoiru ummah (umat terbaik) maka tidak selayaknya kita dengan status SBI ini kemudian melanggar dan boleh keluar dari semua identitas islami atas dasar status internasional. Penggunaan bahasa inggris yang mulai kita beri proporsi perhatian hendaknya hanya sebuah sarana untuk mengokohkan dan semakin menebalkan konsep kita dalam menyebarkan konsep Islam rahmatan lil alamin. Sebagai bagian dari umat lain dipenjuru dunia lain untuk berdiri bersama memakmurkan bumi dan segala isinya.
Kedua, hendaknya konsep internasional yang kita raih bisa menjadi pemecut semangat kita untuk mengambil hal-hal positif dari bangsa Raffles ini. Inggris dikenal semangat pantang menyerahnya, demokratis dalam bersikap, namun amat bangga dengan tradisi leluhurnya sehingga sering disebut bangsa konservatif.
Begitu pula kita sebagai seorang guru. Nilai pantang menyerah dalam menghadapi permasalahan anak didik, mau semakin melebarkan telinga untuk mendengar keluh kesah atau cerita anak-anak kita dan bangga dengan izzah sebagai muslim.
Ketiga, status internasional ini adalah sebuah amanat besar untuk menjawab tantangan hadirnya “produk” sekolah yang berbasis dakwah dalam kancah internasional, yaitu hadirnya generasi muslim sejati, generasi mandiri, mampu mempertahankan kehormatan dan harga dirinya sekaligus mampu menyebarkan rahmat bagi semesta alam.
Itulah sebabnya saat ini saya sedang berusaha keras dan terus belajar menanamkan itu semua dalam praktek bertahap saat mengajar ataupun sebagai mitra kelas. “Menggarap” keberanian untuk mempraktekkan bahasa Queen Elizabeth ini dalam kegiatan sehari-hari. Like Mr. Fadholi (my shensei di English Learning) have said to me : “Practice makes perfect” . Juga belajar menjadi guru yang lebih banyak mendengarkan ketimbang sekedar mendengar ketika anak-anak bercerita hal-hal “remeh” macam Adhnan yang bercerita tim sepak bola kesayangannya ataupun Rafi yang sangat kagum dengan Ultramannya.Semoga semangat internasional dalam bahasa komunikasi kita, juga berimbas pada cara pandang dan ketakwaan kita yang men”dunia”..

*) Guru SDBI Al Hikmah

Selasa, 09 Juni 2009

Mengapa bertanya ”mengapa” lima kali?

Alex Murgito *)

Anda yang mempunyai anak kecil, setiap hari anda akan menemukan pertanyaan “Apa ini, Pa?” “Apa ini, Ma?” “Kenapa kok begini?”
Sering pertanyaan yang diajukannya tidak berhenti sampai di sana. Dia akan terus mengejar dengan pertanyaan “Kenapa?” atau “Mengapa?” sampai kita tidak bisa menjawab.


Lewat pertanyaan-pertanyaan lugu seperti itu, mereka belajar hubungan sebab akibat. Jadi, tidak salah jika kita menganggapnya sebagai makhluk pembelajar.
Sayangnya, kemampuan tersebut berangsur-angsur berkurang begitu mereka beranjak dewasa. Bahkan hilang sama sekali. Mereka menjadi terbiasa menghafalkan data dan fakta.

Kita percaya pada pendapat yang dimasukkan ke kepala kita tanpa menilai secara kritis. Kita juga jarang mempertanyakan “kenapa” dan “mengapa” ketika diminta mengerjakan sesuatu.
Padahal pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang sering menjadi dasar kreativitas dan inovasi. Para inovator yang berhasil adalah orang-orang yang masih mampu mempertahankan sifat-sifat rasa ingin tahu bak seorang anak kecil.

Kita bisa mengulang masa kecil kita untuk meningkatkan kreativitas kita yang telah berkurang atau bahkan hampir hilang. Kita bisa memakai sebuah teknik yang dikenal sebagai 5-Whys (5-Mengapa) yang diperkenalkan oleh Toyota. Melalui teknik ini, kita diajak kembali untuk terus bertanya “Mengapa” sekitar 5 kali sampai kita mendapatkan jawaban final. (Angka 5 bukanlah angka mati. Mungkin Anda cuma perlu bertanya 3-4 kali, atau kadang-kadang 6 kali. Tetapi angka 5 dianggap cukup representatif.)

Pada awalnya, teknik ini digunakan untuk mengidentifikasikan masalah di jalur produksi yang muncul sampai ke akar permasalahan yang sebenarnya.
Misalnya, di pabrik dijumpai bahan baku yang sudah kadaluarsa. Dengan memakai teknik 5-Whys ini kita mengajukan pertanyaan “Why” yang pertama, “Mengapa bisa terjadi?”. Jawaban: “Karena barang-barang baru selalu diletakkan di atas sehingga barang-barang di bagian bawah jarang terpakai.”
Jangan puas dengan jawaban tersebut terlebih dahulu karena Anda baru memakai 1 “Why” dan masih ada 4 “Whys” yang tersisa.
Kejar terus dengan pertanyaan, “Mengapa cara tersebut dipakai?” Jawabannya mungkin, “Karena supervisor yang meminta kami melakukannya.”
Why yang ketiga: “Mengapa supervisor meminta begitu?” Jawaban berikutnya bisa jadi, “Karena dia menganggap ini bukanlah masalah penting.”
Why yang keempat, “Mengapa dia menganggap itu bukan masalah penting?” Jawaban yang datang kemudian, mungkin seperti ini: “Karena kenaikan gaji dan bonusnya dinilai berdasarkan keluaran mesin, bukan mengurus bahan baku.” Anda mungkin tidak perlu bertanya lebih lanjut bila merasa jawaban terakhir sudah menyentuh akar permasalahan.

Dari contoh di atas kita bisa melihat bagaimana pertanyaan “Why” yang terus menerus bisa menemukan masalah sebenarnya. Masalah bahan baku yang kadaluarsa tersebut bukan sekadar masalah kelalaian, tetapi merupakan masalah yang lebih sistemik yang menyangkut sistem kompensasi karyawan. Bila jumlah bahan baku yang rusak tersebut cukup besar, maka perusahaan perlu memperbaiki masalahnya tepat di sumbernya, yaitu di sistem kompensasi.

Cara ini termasuk murah meriah dan sangat berguna. Para anak kecil memakai teknik ini setiap hari dan menjadi bagian dari hidup mereka. Para guru, sangat sering menjumpai hal yang demikian. Karena kita semua pernah menjadi anak kecil, kita hanya perlu melatih kembali pemakaian teknik ini.
Mulailah bertanya “Mengapa?” terus menerus mulai sekarang.

*) Guru SDBI Al Hikmah

Rabu, 03 Juni 2009

Indahnya Kejujuran

Alex Murgito *)

Negara kurang mampu bersaing bukan karena kurangnya orang pintar atau sumber daya, melainkan karena rendahnya kejujuran rakyatnya. Untuk itu, menanamkan kejujuran kepada siswa sebagai generasi penerus bangsa adalah hal yang sangat penting. Tidak hanya dalam ceramah atau pelajaran, melainkan juga melalui pembiasaan sehari-hari.

Bahkan ada guyonan, kejujuran itu mahal harganya. Mungkin karena yang bilang itu jarang menemukan kejujuran pada diri orang yang ditemuinya. Ini berarti kejujuran adalah barang antik yang dicari setiap orang tetapi keberadaannya terbatas.
Berbeda jika kita dengan mudah menemukan kejujuran. Kejujuran menjadi murah harganya karena mudah ditemui di sekitar kita.
Sekolah yang berhasil menanamkan kejujuran pada para siswa akan dengan mudah mendapatkan hal itu di sekolah setiap hari. Hal ini seperti peristiwa yang terjadi pada hari Selasa, 2 Juni 2009. Seorang siswa yang sebenarnya sangat pintar dan pendiam, yang sebenarnya sangat wajar mendapat di atas rata-rata, sebuah nilai yang lebih baik dari yang lain, menunjukkan kesalahan yang menguntungkan dirinya.. Jawaban siswa tersebut, dalam sebuah tes 15 soal pilihan ganda dan 5 soal essay, hanya salah satu. Dalam kesempatan ini dimanfaatkan guru untuk mengukur kejujuran siswa, yaitu dengan memberi nilai seratus kepada siswa tersebut, sebuah nilai yang biasa dia dapatkan dan hal itu diakui teman-temannya. Namun, sebenarnya pada saat itu, siswa tersebut tidak berhak mendapat nilai seratus.
Apa yang terjadi ketika hasil tes dibagikan? Siswa tersebut melaporkan ke guru, “Ustadz, jawaban saya salah satu. Jadi saya tidak seharusnya mendapat nilai seratus.”
Guru itu tertegun kepada siswa tersebut. Dalam batin sang guru berkata, “Alhamdulillah, dia lulus tes kejujuran. Dia tidak mau hasil ulangannya tercampuri dengan sesuatu yang tidak jujur.”
“Ini anak-anak. Kita memiliki teman yang sangat jujur. Meskipun dalam kondisi yang menguntungkannya, dia mau mengakui kesalahan dan menanggung akibatnya. Siapa yang mampu jujur seperti ini, akan selalu dihargai dan dihormati oleh lingkungannya.”
Sebuah contoh kecil dari lingkungan mereka yang sangat menarik dan biasanya akan membekas lebih dalam. Kejujuran yang demikian perlu kita jaga dan kita perkuat dengan memberi reward kepada kejujuran yang demikian. Bisakah hal itu kita lakukan bersama? (amur)

*) Guru SDBI Al Hikmah Surabaya

Rabu, 27 Mei 2009

Kualitas Pendidikan dalam Pilinan Uang


Mohammad Efendi *)

Menepiskan anggapan bahwa pendidikan tidak perlu modal besar, untuk era kini, mungkin hanya akan melahirkan cap gombal. Karena kenyataan telah membelalakkan mata kita, bahwa uang sering kali menjadi penentu kualitas pendidikan.

Ini telah terbukti, baik dalam ruang sempit maupun luas. Dalam lingkup pribadi, satuan pendidikan, maupun nasional. Hingga sebuah kegetiran sering menjadi peneman duka kaum papa, karena tiket memperoleh kelayakan ilmu tak mereka dapati. Tak salah kiranya jika sitir keputusasaan melagu dalam dada mereka: orang miskin dilarang sekolah. Hal inilah yang memurukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) negeri ini ke peringkat 155, dari 150 negara.
Seorang teman wadul kepada saya; Mengapa sekolah baik itu mahal? Gelagapan saya mendapati kenyataan, bahwa ternyata ia telah menemukan satu garis ruwet yang terangkai dengan tak indah dalam variabel pendidikan kita. Saya pun manggut-manggut.
Mahalnya mewujudkan pendidikan berkualitas pasti tak hanya memusingkan dia sendiri. Tapi juga pemerintah kita. Saking semangatnya mengerek kualitas pendidikan Indonesia, sampai-sampai mereka berani mengalokasikan dalam APBN, 20 persen untuk sektor pendidikan. Meskipun kenyataan ternyata berbicara lain. Jauh panggang dari api. Dari seperlima anggaran APBN, hanya sekitar 9,1 persen saja yang bisa dipenuhi. Upaya mengangsur kuaitas pendidikan juga dilakukan pemerintah lewat BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Tujuan bantuan ini adalah untuk mengurangi beban wali murid dalam membayar uang sekolah anaknya. Namun, ironisnya, yang muncul di media massa, masih ada juga sekolah yang menarik biaya ini-itu dari siswa. Atau mengakali meninggikan pungutan sekolahnya, hingga wali murid tetap harus membayar kekuranyannya. Senapas dengan BOS, baru-baru ini sekolah menerima aliran dana BOS buku. Sesuai namanya, BOS buku ini dialokasikan untuk pembelian buku paket siswa. Buku paket yang tercover tunjangan ini ada tiga: Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Masing-masing buku paket mendapat tunjangan 20 ribu rupiah. Namun sayang, pencairan dana ini tak sesuai waktu. Pencairannya dilakukan pada pertengahan semester. Hingga dapat dipastikan, tetap saja wali murid merogoh kantongnya untuk membeli buku paket. Karena pembeliannya dilakukan di awal semester.
Sisi lain yang membuat seretnya guliran roda pendidikan di negeri ini memang masih mahalnya buku. Namun, bukan tak ada contoh negara yang berhasil menekan harga buku sedemikian rupa, hingga bisa dijangkau khalayak umum. Bukan hanya buku-buku pelajaran yang ringan di katong, tapi juga koran dan majalah. Negara tersebut adalah India. Sebuah negara yang kian mengukuhkan cengkeramannya di Asia, selain Tiongkok. Resep yang dijalankan India tidak rumit; subsidi kertas. Guna menekan harga buku-buku asing, pemerintah tak segan-segan bekerja sama dengan penerbit-penerbit besar, seperti Penguin Book. Tujuannya, agar buku yang mereka terbitkan, dapat dicetak di India saja. Hingga akhirnya, banderol harga yang sampai di konsumen bisa murah. Ini bisa ditiru pemerintah. Alokasi subsidi BBM bisa sebagian dialihkan ke sektor ini. Melongok ke belakang, sebenarnya keinginan memurahkan harga buku sebenarnya telah disampaikan oleh Bung Karno. Dalam sebuah rapat akbar, beliau pernah memerintahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan masa itu, Priyono, untuk menerbitkan buku murah untuk rakyat.
Sebagai penutup tulisan ini, disadari, bahwa sesungguhnya beratnya beban pendidikan Indonesia tak selayaknya hanya diserahkan pada pemerintah. Memosisikan pemerintah sebagai single fighter hanya akan melahirkan harapan semu belaka. Oleh karenanya, butuh pemberdayaan elemen-elemen masyarakat. Kita mensyukuri adanya wadah-wadah katalis kualitas pendidikan yang kini muncul di Surabaya dan sekitarnya. Semacam KPI (Konsorsium Pendidikan Islam), dan lainnya. Tapi, untuk lahan garapan seluas Indonesia raya, butuh puluhan, mungkin ratusan wadah seperti itu. Pertanyaannya, maukah kita mengambil bagian untuk itu?
efendialhikmah@yahoo.co.id

*) Guru SD Al Hikmah Full-Day School Surabaya

Selasa, 19 Mei 2009

Mengkritisi Hasil Rakornas Revitalisasi Pendidikan Nasional: Efektifkah Unas Model Paket?


Mohammad Efendi *)

Perdebatan tentang Ujian Nasional (Unas) seakan tak pernah habisnya. Sikap pro-kontra, atau ide segar selalu mengemuka. Terutama masa-masa usai Unas seperti sekarang. Sedikit menengok ke belakang, ide kreatif yang beralur pada keberagaman mutu pendidikan Indonesia mengemuka pada Rakornas Revitalisasi Pendidikan Nasional tahun lalu. Helatan diskusi pendidikan yang diselenggarakan pada akhir Agustus ini merekomendasikan perlunya modifikasi Unas.

Unas mendatang tak sama dengan Unas tahun lalu. Penyelenggara Unas mendatang akan membuat tiga paket soal; paket A, B, dan C. Paket-paket soal tersebut dibuat untuk menyesuaikan level kualitas tiap-tiap sekolah. Sekolah terbaik kualitas pendidikannya akan menerima Unas Paket A. Sekolah yang sedang-sedang saja kualisa pendidikannya menerima Unas Paket B. Sedangkan sekolah yang terkategori kurang, siswanya harus cukup puas mengerjakan Unas Paket C.
Memang, siapapun orangnya, baik tim atau perorangan, bila diminta menyusun sebuah format Unas yang sesuai dengan kondisi akademis Indonesia pastilah dibuat puyeng. Bagaimana tidak. Variabel-variabel yang turut mewarnai bentuk ideal Unas sangatlah tidak mendukung terbentuknya sebuah standar evaluasi yang ideal. Seperti yang kita ketahui, sebuah standar yang ideal itu menuntut kesamaan (atau kenyarissamaan) semua aspek pendukung. Semua itu meliputi segala hal yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan proses pendidikan; kualitas guru, sarana pendidikan, dan kurikulum, serta pendekatan pembelajaran. Sedang fatka di lapangan membuktikan, kualitas akademis di wilayah Indonesia belumlah merata. Jangankan berbicara tentang kualitas proses belajar-mengajar, masalah guru dan bagunan fisik sekolah saja masih kerap mencuat sebagai masalah utama pendidikan di daerah tertinggal. Sudah menjadi rahasia umum, jika sebagian besar guru akan berusaha menyelamatkan diri dari penempatan di daerah tertinggal. Bila perlu, uang dan koneksi kerap bicara. Walhasil, satu sekolah kadang hanya diajar oleh dua orang guru saja. Itu yang pernah terjadi di pelosok Papua, Yahukimo. Masalah krusial selanjutnya adalah kondisi fisik sekolah. Meski tiap tahun APBN dan APBD mengalokasikan dananya untuk renovasi bagunan sekolah, kenyataannya, masalah kondisi kelas yang tak layak digunakan masih sering dikeluhkan. Tak hanya di luar Jawa, di Jawa pun masih kerap dijumpai. Oleh karena itulah, jika berpijak pada keharusan tersebut, wajar jika hingga kini pemerintah belum mampu menyusun sebuah standardized test (tes yang distandarkan) yang ideal.
Bagaimana dengan ikhtiar memformat Unas model paket ini? Sudah cukup idealkah dilakukan di Indonesia? Elin Driana, pada sebuah tulisannya menuturkan, sepintas gagasan ini menyiratkan keadilan. Namun, diakui atau tidak ada potensi masalah yang tersimpan di dalamnya. Tidak mustahil, kontroversi seputar Unas akan menjadi-jadi jika tes model ini jadi diberlakukan. Menurut peserta Program Doktor Riset dan Evaluasi Pendidikan di Ohio University ini, kontroversi itu menyangkut, pertama: alat ukur penentuan level sekolah peserta Unas. Sudah validkah alat ukur tersebut? Lalu, bagaiman proses pengukuran mutu sekolah? Kedua, gangguan yang ditimbulkan pada proses belajar mengajar. Bisa dibayangkan, sekolah yang berlevel A, pasti memberikan bobot latihan lebih tinggi dibandingkan dengan level B dan C. Ini menimbulkan kesenjangan materi pelajaran (kurikulum). Dan ketiga, berkaitan dengan citra sekolah. Sekolah berlevel C pasti kurang diminati murid baru. Sedang siswa yang bersekolah di satuan pendidikan itu pasti menanggung beban mental yang berat. Lebih parah jika nanti ia dicap sebagai anak bodoh oleh teman seangkatan yang sekolah di sekolah level A dan B. Masalah keempat, menyangkut ijazah yang dikeluarkan sekolah. Apakah di ijazah tersebut ada pelabelan A, B, dan C atau tidak? Ini dimungkinkan, karena alat ukur yang digunakan beda. Jika ada, samakah perlakuan bagi ketiga jenis ijazah itu? Kita tunggu saja akhirnya.
Jika dikembalikan pada filosofi standar, rasanya ini bertentangan sekali. Standar dapat diartikan sebagai sebuah ukuran yang bisa dijadikan patokan suatu hal. Patokan yang bisa dianggap mewakili secara menyeluruh akan sesuatu yang bersifat jamak. Berdasar pada hal tersebut, maka pelevelan sekolah tentulah bertentangan dengan filosofi tersebut. Terlebih lagi bila kemudian standar akhir evaluasinya dibeda-bedakan. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan tujuan awal.
Namun demikian, kita menyadari, menggunjingkan Unas tak akan ada habisnya. Langkah terbaik adalah membenahi vaeriabel-variabel yang berkaitan dengan standardized test. Apapun model Unas yang didesain Depdiknas, pasti tak akan menyentuh hasil maksimal, selama kesenjangan kualitas pendidikan masih menempatkan dirinya sebagai kanker pendidikan. Prinsip standardisasi adalah kesamaan. Karena itu, penilaian yang benar-benar standar akan terwujud jika semua aspek pendukungnya benar-benar teratur dan berkualitas merata. Jika masih terdapat kesenjangan yang mencolok antara satuan pendidikan satu dengan satuan pendidikan yang lain, jangan bermimpi sebuah standardisasi akan terwujud. Ibarat mimpi di siang bolong.
Bolehlah sekarang pemerintah, lewat tangan Depdinas merumuskan Unas model terbaru, yaitu Unas model paket A, B, dan C. Tapi dapat dipastikan, buntut dari penerapan ini akan berbuah kontroversi di masyarakat. Kontroversi yang kerap menghbiskan energi positif untuk membenahi negeri ini. Belajar dari kekisruhan Unas tahun lalu, tarik-ulur Unas malah berujung pada tuntutan di meja hijau. Siswa dan wali murid yang merasa bisa, tapi tak lulus Unas, mengadu ke Komnas HAM dan YLBHI. Mengenaskan. Niat baik pemerintah untuk menyetandarkan evaluasi pendidikan malah berujung sebuah tuntutan. Jadinya, banyak energi terbuang percuma di sana. Energi yang sejatinya bisa digunakan secara efektif untuk membenahi kualitas bangsa yang kian terpuruk di mata dunia. Berdasar pada laporan survei Institue of Management Development (IMD) tahun ini, daya saing kita di peta dunia berada di posisi ke-60. Turun satu tangga dari tahun sebelumnya. Di bawah kita ada Venezuela. Namun, negeri jiran, Malaysia, bercokol di peringkat 23. Thailang di posisi 32. dan seperti biasanya, Singapura selalu berada di peringkat papan atas, yaitu ke-3.
Langkah terbaik yang hendaknya dipilih oleh Depdiknas dan BSNP adalah membuat langkah terpadu; pertama, perumusan Unas, dan kedua, mendorong pemerataan kualitas pendidikan di seluruh hamparan nusantara. Rumusan Unas yang dihasilkan hendaklah mengakomodir potensi-potensi nyata yang ada di pendidikan Indonesia. Dan yang lebih penting lagi adalah, sosialisasi rumusan Unas kepada satuan-satuan kerja dan satuan pendidikan di bawahnya. Ini penting! Sangat penting. Karena sesungguhnya, kesepahaman merupakan peredam kontroversi yang selama ini mengiringi pemberlakuakn Unas. Membuang energi percuma. Kesepahaman ini menyangkut pola pandang yang sama, bahwa Unas yang diadakan ini adalah Unas yang belum ideal. Ibarat menutup plester di kulit yang luka. Ini disebabkan masih menganganya kesenjangan kualitas satuan pendidikan yang ada di Indonesia.
Langkah kedua yang mutlak dilakukan Depdiknas dan BSNP adalah mendorong percepatan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh penjuru tanah air. Ini sejatinya langkah yang paling urgen, dan paling diperlukan untuk dapat merumuskan evaluasi yang distandarkan. Ibarat sebuah bangunan, pemerataan kualitas sekolah adalah fondasinya. Langkah riil yang bisa dilakukan adalah mendesak realiasasi alokasi 20% APBN dan APBD. Realisasi ini begitu mendesak dilakukan untuk dilakukan. Dan disadari, langkah ini tak akan semudah membalik telapak tangan. Butuh proses yang makan waktu. Karena hingga kini, meski telah diketok keputusannya, namun belum bisa diwujudkan. Pos-pos anggaran lain masih mengoda untuk digelembungkan, merampas jatah pos pendidikan. Belum teralisasinya jatah 20% belanja negara (APBN) untuk pembiayaan pendidikan ini serupa dengan belanja daerah (APBD). Hingga kini, belum ada satu daerah pun yang ammpu memenuhi target tersebut, termasuk kota Metropolis, Surabaya. Urgensi realisasi pos 20% pendidikan ini adalah agar peningkatan kualitas pendidikan naik signifikan. Tidak melata, atau stagnan. Kualitas guru meningkat karena terkatrol oleh pelatihan-pelatihan, fasilitas sekolah yang bobrok juga bisa lekas diperbaiki. Selain itu, untuk menggairahkan penempatan guru di daerah tertinggal, perlu realisasi janji insentif bagi guru. Ini semua butuh uang. Butuh dana yang besar. Dan tuntutan realisasi dana pendidikan maksimal sesuai dengan keputusan adalah sebuah kepastian. Jadi, apalagi yang ditunggu? efendialhikmah@yahoo.co.id

*) Guru SDBI Al Hikmah

Kamis, 14 Mei 2009

Gifted saat Bayi

Alex Murgito *)

Barang kali anak kita sekarang sudah besar, sudah masuk SD, masuk SMP, atau masuk SMA. Jika demikian, memang agak terlambat untuk mengetahui hal ini karena penelitian ini menggunakan objek anak kurang dari satu tahun dan (mungkin) sesuai jika digunakan untuk dasar pendidikan anak yang berusia kurang dari satu tahun. Tidak ada salahnya anda membaca lagi sehingga bisa anda tularkan kepada teman, saudara, atau mungkin untuk anda sendiri di lain hari.

Ini adalah hasil penelitian tentang kecenderungan anak gifted, yaitu anak yang tingkat kecerdasannya di bawah genius, namun di atas superior.
Menurut DR. drg. Julia Maria van Tiel, Doktor bidang Medical Antropologist serta Nasrullah Idris, bidang studi: Reformasi Sains Matematika Teknologi, anak yang memiliki kemampuan otak sangat besar dalam waktu singkat. Bagi para ilmuwan, mereka bisa merupakan sumber entri point dalam penelitian dan pengembangan. Gilirannya sedikit-banyak meringankan proses pencarian data untuk memperkuat legitimasi karya ilmiah. Biasanya mereka memiliki ingatan fotografis yang kuat yang bisa dituangkan dalam gambar yang bagus, tetapi munculnya sekehendak sendiri, yang juga akan membimbing perilaku mereka ke depannya.
Mereka adalah benih-benih bangsa yang sangat menjanjikan. Dengan perhatian yang tepat. Biarkan sajalah tubuh secara alami, tidak dipaksa, tidak distimulasi, tetapi diikuti perkembangannya, dan diawasi agar tindakannya tak berbahaya - maka potensi yang luar biasa itu bisa keluar. Sebaliknya, jika sejak awal mereka mendapat tekanan obat-obatan dan metoda pemaksaan seperti dalam terapi yang dilakukan pada anak yang mempunyai keterbelakangan mental, sulit membayangkan akan seperti apa jadinya.

Pada periode bayi, 0 s.d. 2,5 tahun, masih terlalu dini untuk memberi label sebagai anak gifted, namun kepadanya diberi label lain yaitu anak dengan lompatan perkembangan. Pada periode tersebut terdapat beberapa gejala yang dapat menunjukkan bahwa kelak anak tersebut akan berkembang menjadi anak gifted. Gejala-gejala yang nampak pada anak tersebut adalah:
• Lebih besar dan lebih berat dari rata-rata anak yang lahir
• Tak sabaran
• Cepat dalam perkembangan membalas senyuman dan melihat ke sekililing
• Waktu tidur yang sedikit
• Sangat alert
• Sangat sensitive
• Perkembangannya cepat
• Mempunyai pola yang tetap dan teratur
• Seringkali sangat tergantung, seringkali menuntut perhatian lebih
• Mempunyai daya ingat yang kuat

Untuk perilaku tertentu, menunjukkan lebih cepat berkembang dibanding rata-rata (tergantung pada minggu atau bulan tertentu pada usia bayi):
Motorik halus:
• Melihat ke tangannya
• Memainkan kedua tangannya di depannya
• Mengambil blokje
• Mengambil blokje kedua dengan tangan yang lain
• Mengambil dan memasukkan blokje dari kotak
• Bermain memberi dan menerima

Motorik kasar:
• Bisa stabil jika dilepas
• Merangkak dengan perut di lantai
• Menegakkan badan
• Merambat
• Berjalan Jalan

Komunikasi dan perkembangan personalitas
• Membalas senyuman
• Bereaksi terhadap namanya
• Mengatakan dada, baba, gaga
• Bereaksi jika dipanggil namanya
• Melambaikan tangan da. . . da . . .
• Berbicara dengan dua kata yang mempunyai makna
• Memahami beberapa kalimat yang digunakan sehari-hari
• Dapat menolong diri sendiri
• Bermain dengan anak lain
• Dapat diberitahu/perintah
• Mempunyai inisiatif

Catatan:
Tidak semua anak gifted mempunyai gejala yang lengkap seperti di atas di atas, namun secara umum memiliki gejala yang banyak dari daftar di atas. Anak-anak yang lahir premature pun nantinya dapat berkemungkinan adalah anak-anak gifted.
Dari laporan para orang tua yang anaknya menjadi objek penelitian, umumnya anak-anak ini pada minggu pertama sudah dapat membalas senyuman. Mata mengikuti gerakan juga sangat cepat berkembang. Banyak dari bayi-bayi ini yang mempunyai jam tidur sedikit. Pada dasarnya banyak yang menggambarkan anaknya merupakan anak yang hiperaktif, yang menuntut ekstra energi dari orang tuanya.
Bayi-bayi ini mempunyai perkembangan merangkak dan berjalan yang lebih cepat dari jadwal rata-rata. Umumnya berjalan sebelum usia satu tahun.
Yang jelas bila dibandingkan dengan perkembangan rata-rata akan sangat nampak bahwa bayi-bayi ini mempunyai lompatan perkembangan.
Perilaku overaktif nampak sebagai akibat dari perkembangan sistem neuromuskularnya, yang telah diketahui bahwa perkembangan sistem persyarafan anak-anak gifted akan memakan waktu lebih lama daripada rata-rata anak. Karenanya juga anak-anak ini mempunyai sistem pancaindera yang sangat sensitif, misalnya terhadap ransang raba, cahaya, dan suara.
Di samping itu, ketahanan tubuhnya juga sangat sensitif dan menjadi rentan. Yang perlu dijelaskan juga adalah bahwa sangat banyak anak-anak gifted yang mengalami alergi misalnya terhadap bahan pewarna dan penambah rasa.
Kebanyakan bayi akan membawa pengalaman dan kesan-kesannya turut dalam tidurnya. Bayi-bayi ini akan lebih tenang jika dikembalikan pada pola-pola yang teratur dan tertentu. Bila hal ini dilanggar maka anak-anak ini akan bereaksi terhadap situasi, marah dan selalu menangis.
Dalam kurva berat badan dan tinggi badan, perlu diamati seberapa jauh pertumbuhannya bila dibandingkan dengan rata-rata anak seusianya. Dalam pemeriksaan berkala dapat dilihat juga kapan anak-anak ini merangkak, berjalan dan seterusnya. Bila ia melebihi di atas rata-rata anak seusianya terutama perkembanga motorik dan kognitif, maka dapat diartikan bahwa bayi-bayi ini mempunyai lompatan perkembangan.

Help een hoogbegafde kind – de consultatiebureau en school arts, Landelijk
informatiecentrum hoogbegaafdheid, stichting Plato, Wateringan.2002.
(Bantulah anak gifted – panduan bagi dokter tumbuh kembang dan dokter sekolah, Pusat Informasi Keberbakatan Nasional, disebarluaskan oleh Stichting Plato, Wateringen, 2002)
Dan berbagai sumber website.

*) Guru SDBI Al Hikmah


Senin, 04 Mei 2009

Melirik UKBI tuk Gantikan Unas bahasa Indonesia


Mohammad Efendi *)

Pernyataan Daniel M. Rasyid, pengamat pendidikan Surabaya, tentang model Unas Bahasa Indonesia bisa merusak kemampuan berbahasa siswa menarik untuk ditanggapi. Pernyataan tersebut muncul kisaran akhir tahun 2006. meski agal lama, namun hal tersebut tetap menarik untuk dijadikan bahan renungan. Terutama pada bulan-bulan ini, Unas dan Uasbn sedang berlangsung.

Menurut beliau, tes Unas, khususnya pelajaran Bahasa Indonesia, belum layak untuk disebut mewakili kemampuan berbahasa siswa secara menyeluruh. Karena model soalnya monoton pilihan ganda saja.
Saya teringat ucapan Shoim Anwar di sebuah training. Secara bergurau, sastrawan Surabaya ini mengomentari model soal pilihan ganda dan isian sebagai soal “eceran”. Mengapa? Karena jawabannya sedikit-sedikit, mirip orang mencicil kredit. Hingga kemampuan utuh peserta tak dapat diketahui.
Seperti yang kita ketahui, tes Unas yang selama ini diadakan, dilihat dari sudut pandang kebahasaan, hanya bermain pada sektor membaca dan menulis saja. Padahal, aspek-aspek kebahasaan itu ada empat: mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Oleh karena itu, representasi tes akhir yang baik adalah yang mampu mewadahi itu semua, bukan parsial.
Mungkin, alat tes yang tepat, yang dimaksudkan beliau adalah UKBI (Uji Kemampuan Berbahasa Indonesia). Sekedudukan dengan TOEFL (Test of English for Foreign Language), UKBI bertujuan mengetahui tingkat kemampuan berbahasa seseorang. UKBI sebagai sarana pengujian kemampuan berbahasa Indonesia, telah memperoleh pengukuhan Mendiknas dengan surat keputusan Mendiknas Nomor 152/U/2003. Hasil tesnya berupa pemeringkatan mulai dari tingkat istimewa sampai terbatas. Tingkatan ini disesuaikan dengan nilai yang diperoleh peserta.
Saya berkeyakinan, bahwa penguatan kebahasaan nasional bisa dimulai dengan memberikan porsi yang proporsional dalam kurikulum pendidikan. Selama ini, menurut saya, Bahasa Indonesia yang tersampaikan dalam jalur edukasi seolah-olah mengalami stagnasi. Tak ada kemajuan yang signifikan. Meski telah beberapa kali kurikulum berganti, termasuk kurikulum Bahasa Indonesia, tak ada beda menonjol aplikasinya di kelas antara kurikulum satu dengan lainnya. Seringkali roh pembelajaran yang diharapkan muncul malah mandeg pada proses pembelajaran di kelas. Ranah-ranah kemampuan berbahasa yang tercakup semuanya dalam pedoman materi, sering kali hanya muncul satu, atau dua saja. Dari empat kemampuan berbahasa: mendengar, berbicara, membaca, dan menulis, sering kali yang teropeni cuma membaca dan menulis saja.
Karakteristik pembelajaran Bahasa Indonesia, yang mengharuskan guru memberikan porsi seimbang pada masing-masing ranah dalam pembelajaran masih belum jalan. Padahal, ini telah disosialisasikan dalam pengenalan Kurikulum Bahasa Indonesia sistem KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran). Lebih-lebih jika sampai pada tataran evaluasi. Model ujian pencil and paper test (tes tulis) masih meraja. Dengan kondisi seperti ini, dapat dipastikan, betapa merananya ranah-ranah yang lain, yang tak dapat dinilai hanya dengan pencil and paper test.
Dengan kenyataan sedemikian itu, pantaslah kiranya bila selalu saja ada kesenjangan antara mutu ideal lulusan dengan kenyataan mutu yang dihasilkan. Ambil contoh, sejak kelas 6 SD sampai SMA, siswa telah mendapatkan materi pidato. Namun, apa kenyataannya? Hanya segelintir saja lulusan yang memenuhi harapan itu. Selebihnya, meski hanya sekadar maju ke depan panggung saja masih maju-mundur. Contoh lainnya, kemampuan menulis lulusan SMA kita. Kenyataan bahwa mereka telah menerima materi menulis (baik surat, laporan, cerita, sinopsis, karangan) di bangku belajar, seolah tak berbekas kala mereka disodori kertas untuk menghasilkan tulisan bermutu. Inilah gambaran umum ketidakberhasilan mesin pengajaran sekolah menerjemahkan kurikulum dalam pembelajaran.
Hingga, keidiealan kurikulum Bahasa Indonesia yang diharapkan mampu menerobos kesulitan-kesulitan siswa dalam berbahasa, tak terbukti di ujung akhir tahun pelajaran. Sedikit banyak, kegagalan ini merupakan sumbangsih orientasi tes akhir yang selalu berwujud tes tulis. Hingga, guna mengejar target nilai tinggi di Unas bahasa Indonesia, keterampilan berbicara dan mendengar tak terlatih dengan baik. Coba saja perhatikan aktivitas siswa kelas 3 SMP/SMA pada semester kedua. Siswa dijejali dengan prediksi soal-soal Unas. Kegiatan pembelajaran praktis hanya bertumpu pada latihan mengerjakan berbagai model soal. Aspek kreatif kebahasaan tak terurus.
Dalam skala luas dan berkelanjutan, ini akan berdampak buruk pada kualitas SDM Indonesia. Padahal, potensi bahasa Indonesia amatlah subur dalam blantika kebahasaan dunia. Coba kita lirik data pengguna bahasa-bahasa di dunia. Bahasa Indonesia (yang disebut Malay-Indonesian) menempati sepuluh besar. Bahkan melebihi bahasa bintang sepak bola Zinedin Zidan, Prancis. Secara berurutan, sepuluh besar itu adalah bahasa Mandarin (digunakan 1,075 miliar manusia), Inggris (524 juta), Hindustan (496 juta), Spanyol (425 juta), Rusia (275 juta), Arab (256 juta), Bengali (215 juta), Portugis (194 juta), Malay-Indonesian (176 juta), Prancis (129 juta). Dengan pengguna bahasa sebesar itu, sayang proses pendidikan hanya mampu menjadikan mereka berkemampuan bahasa pas-pasan, dan tak kreatif berbahasa.
Bisakah dijadikan jawaban, bila Unas Bahasa Indonesia digantikan UKBI? Di tengah pro kontra Unas yang masih kerap terdengar, ide ini boleh jadi menjadi satu alternatif. Bahkan boleh dikatakan, ini adalah tes yang ideal. Karena mengukur empat sektor kemampuan berbahasa siswa. Bahkan, selain jalan untuk membiasakan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di dunia akademis, ini akan memperkuat identitas bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Namun yang pasti, ada pertanyaan yang perlu mendapat jawaban “sudah” jika langkah ini diambil. Pertama, sudahkan siapkah perangkat pembelajarannya? Hingga saat ini, perangakat pembelajaran masih menjadi kendala di beberapa sekolah. Terutama sekolah-sekolah pinggiran. Padahal, ini amat urgen keberadaannya untuk menyukseskan belajar siswa. Pelajaran bahasa Indonesia, yang menaungi empat ranah kebahasaan, membutuhkan media-media pendukung pembelajaran.
Kedua, sudahkan alat tes memuat segenap Kompetensi Dasar yang dipelajari siswa? Saya pikir, suatu tantangan besar bagi pembuat alat tes jika ingin mengukur kemampuan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis siswa. Tantangan ini berhubungan dengan kemampuan ia memformat alur tes yang memuat Kompetensi Dasar, sesuai kurikulum KTSP. Misalnya, pada tes mendengar, mereka harus menyiapkan materi (pengumuman, cerita rakyat, berita, dll.) untuk diperdengarkan kepada peserta tes. Pada materi berbicara, mereka meramu alur tes yang mengaruskan siswa menunjukkan kemampuan berbicaranya, semisal pidato, menanggapi persoalan aktual, bercerita, dll. Pada materi membaca, mereka menyiapkan banyak bahan bacaan: cerita, berita media cetak, iklan, poster, dll. Sedangkan saat sesi menulis, mereka menyiapkan psikologis siswa untuk menghasilkan cerita pengalaman, naskah pidato, puisi, atau lainnya.
Ketiga, cukupkah waktu yang ada? Saya yakin, tidak cukup 2 atau 3 hari jika ingin menguji kemampuan berbahasa siswa secara keseluruhan. Selain karena tes meliputi empat kemampuan berbahasa, Kompetensi Dasar yang dipelajari siswa, yang tentunya mesti diujikan pun banyak ragamnya.
Selain pilihan pertama di atas, dapat juga tes UKBI ini berdiri sendiri, terpisah dari Unas. Artinya, siswa SMP dan SMA yang hendak lulus dipersyaratkan mengikuti tes UKBI. Dengan demikian renik-renik yang berhubungan dengan penyiapan alat tes dapat dipangkas, karena penangung jawab kini berpindah pada Pusat Bahasa (Balai Bahasa) untuk membantu menyukseskan program ini.
Namun, adalah suatu kenaifan besar jika siswa diharuskan lulus tes Kemampuan Bahasa Indonesia, sedangkan gurunya tidak. Oleh karena itu urut-urutan yang adil adalah dimulai dari pengajarnya dulu. Dosen, serta guru di jenjang pendidikan tinggi, menengah, dan dasar mesti mengikuti tes ini lebih dulu. Dari sisi hukum, kiranya ini menjadi satu langkah taktis untuk mewujudkan implementasi Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan nasional. Pasal 33, yang menjelaskan tentang bahasa pengantar pembelajaran menyebutkan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar utama. Sedangkan bahasa lain, yaitu bahasa daerah dan asing digunakan secara situasional. Berpedoman pada aturan tersebut, tak ada kendala jika tes UKBI diselenggarakan bagi semua kalangan pendidik. Karena tentu harapan penggunaan bahasa Indonesia yang diharapkan oleh undang-undang tersebut bukan sekadar “asal bahasa Indonesia”, tapi bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dan tes UKBI, mendukung ketercapaian tujuan itu.
Setelah tahap pertama tadi terlaksana, baru berlanjut pada siswa. Pada tataran perguruan tinggi, UKBI dapat dijadikan sebagai salah satu syarat kelulusan. Mungkin kedudukannya hampir sama dengan TOEFL yang kini mulai menjadi salah satu syarat kelulusan di perguruan tinggi. Baru kemudian dipertimbangkan untuk diterapkan secara struktural di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Demi suatu kebaikan, tak ada yang tak mungkin untuk dilakukan. Guna mewujudkannya, tinggal merangkai jejaring antara Pusat Bahasa (Balai Bahasa) dan Depdiknas (Dinas Pendidikan).

*)Guru SDBI Al Hikmah Full-day School Surabaya
efendialhikmah@yahoo.co.id


Kamis, 30 April 2009

Cerdas dan Rajin

Kakek meletakkan surat kabar yang ia baca, kemudian menatapku melewati kaca mata plusnya yang tebal.

"Apa itu cerdas?" tanyanya.
"Pandai berpikir." jawabku.
Kakek mengangguk. "Lalu apa itu rajin?"

"Suka bekerja." jawabku lagi.
"Kemarilah." Ia melambaikan tangan agar aku duduk di sisinya. Aku mendekat dan duduk di kursi di sampingnya. Melihat dari dekat wajah kakek yang diukir guratan usia tua, dibingkai sepasang mata teduh yang menyimpan selaksa kebijaksanaan.
"Nah, sekarang katakan, apa yang kau naiki kemarin waktu menuju ke rumah kakek?"
"Mobil." jawabku.
"Benar, mobil. Apa yang membuatnya bergerak?" tanya kakek
"Mm... Roda." Jawabku.
"Apakah roda hanya dapat melaju lurus ke depan?" tanya kakek lebih lanjut.
Aku menggeleng. "Tidak, roda dapat berbelok-belok. "
"Mengapa demikian?"
"Karena ada kemudinya." Jawabku lagi. Masih tak memahami apa hubungan semua ini dengan pertanyaanku tadi.

Kakek tersenyum.
"'Roda' adalah 'rajin', karena ia selalu bergerak. Itulah kewajibannya, pekerjaannya, tugas yang harus selalu ia lakukan. 'Kemudi' adalah 'cerdas', karena ialah yang berpikir, menentukan kemana roda harus berbelok, ke kanan, atau ke kiri."
"Berarti 'cerdas' lebih hebat, karena tanpa kemudi, roda tak dapat mengerti kemana harus mengarahkan lajunya!" Aku berseru.

"Begitukah? Jika tak ada roda apakah ia akan tetap hebat? Apa jadinya kemudi tanpa roda, apakah mobil tetap dapat melaju?" Kakek bertanya.

"Berarti... 'rajin' lebih hebat. Walaupun tanpa kemudi, ia masih dapat melaju." sahutku ragu-ragu.
"Dan membiarkan mobilnya menabrak segala sesuatu, karena tidak mengikuti alur jalan yang berliku?"
Aku memandang kakek.
"Cucuku... Keduanya tidak akan menjadi hebat, bila berdiri sendiri-sendiri, terpisah, tanpa mau bergabung. Karena kehebatan itu hanya muncul bila mereka saling mendukung dan bekerja sama. Kemudi yang menentukan arahnya, dan roda yang melajukan mobil sesuai tugasnya."

Kakek menatapku, "Kau tahu, apa yang membuat keduanya bekerja bersama?"

Aku menggeleng.

"Pengemudi mobilnya. Yang mengatur kemudi dan roda agar saling mendukung dan berjalan bersama. Bagaimana laju mobilmu, halus atau kasar, menabrak atau lancar, tergantung siapa yang duduk di tempat itu." jawab Kakek.

"Ia adalah hatimu." Telunjuknya terarah ke dadaku.

"Yang mengatur lajunya langkahmu. Dengannya kau memilih, apakah hanya menjadi cerdas,
atau hanya menjadi rajin, atau memutuskan mendudukkan keduanya bersisian dan saling melengkapi satu sama lain.

Secerdas apapun seseorang, sebesar apapun idenya, tak akan berguna tanpa kerja keras yang mewujudkannya menjadi nyata.
Serajin apapun seseorang, bila itu dilakukan tanpa pemikiran, hasilnya hanya akan menjadi sia-sia."
Kakek menatapku dengan bijak.

"Jadi, menurutmu, mana yang lebih hebat, menjadi cerdas atau menjadi rajin?"

"Menjadi keduanya." Kataku mantap, dengan senyum lebar membalas senyumnya.


Rabu, 29 April 2009

Food Combining

Food Combining atau Kombinasi makanan serasi (KMS) adalah metode pengaturan asupan makanan yang diselaraskan dengan mekanisme alamiah tubuh, khususnya yang berhubungan dengan sistem pencernaan. Efek pola makan ini meminimalkan jumlah penumpukan sisa makanan dan metabolisme sehingga fungsi pencernaan dan penyerapan zat makanan menjadi lancar dan pemakaian energi tubuh lebih efisien.

Prinsip KMS sebagai berikut :
1. Mendayagunakan fungsi sistem pencernaan dengan cara menyesuaikan apa yang dimakan dengan kebutuhan Asam-Basa dan siklus alamiah tubuh agar metabolisme seimbang
2. Mengoptimalkan masukan dan penyerapan zat gizi dengan cara mengkonsumsi makanan yang serasi saja setiap kali makan.
Asam-Basa tubuh seimbang
Keseimbangan asam-basa jaringan tubuh dan darah manusia harus berada pada pH 7,3-7,5 agar tetap sehat dan berfungsi secara optimal. Di atas pH 7,8 atau di bawah pH 6,8 akan menimbulkan gangguan metabolisme, yang pada akhirnya juga gangguan pada kesehatan. Makanan pembentuk asam mengandung lebih banyak mineral non logam, contoh ; makanan protein, lemak, biji-bijian (Beras, jagung, gandum, dll) termasuk produk olahannya, kecuali susu mentah, yogurt, kacang almond, ikan belanak. Makanan pembentuk basa mengandung lebih banyak mineral logam, contoh : buah dan sayuran kecuali tomat, umbi-umbian. Menu sehari-hari masyarakat zaman sekarang umunya sebagaian besar terdiri atas makanan pembentuk asam, misal : daging, ikan, telur porsinya lebih besar daripada sayur dan buah. Gejala awal tingkat keasamannya tubuh tinggi, al : sering sakit kepala, sinusitis, mudah alergi, pilek, batuk, sakit maag, kembung, sembelit, jerawat, bisul, kulit kusam, eksim, nafas & keringat bau, sering nyeri otot & persendian, lesu kronis, kelebihan BB.
Siklus tubuh alamiah
Setiap fungsi tubuh mempunyai irama biologis yang jam kerjanya tetap dan sistematis dalam 24 jam per hari. Irama biologis sistem pencernaan kita sbb :
 Siklus Pencernaan (12 siang-8 malam)
Saat yang tepat untuk mengkonsumsi makanan padat karena pencernaan bekerja lebih aktif. Setelah pukul 8-9 malam sebaiknya tidak mengkonsumsi makanan padat.
 Siklus Penyerapan (8 malam-4 pagi)
Saat untuk penyerapan, asimilasi, dan pengedaran zat makanan. Kurang tidur atau makan larut malam memboroskan energi dan mengganggu siklus ini.
 Siklus Pembuangan (4 pagi-12 siang)
Saat tubuh melakukan pembuangan sisa makanan dan metabolisme. Pada saat ini kita sebaiknya tidak makan makanan berat & pada.
Apabila salah satu aktivitas siklus ini terhambat, maka aktivitas siklus berikutnya juga ikut terhambat.

Lima unsur zat gizi
Dalam kombinasi menu seimbang unsur gizi dibagi menjadi 5, yaitu gula, pati, protein, asam dan lemak. Buah dan sayur merupakan satu-satunya kelompok makanan yang memiliki kadar air tinggi, nutrisi dan pembentuk sifat basa. Oleh sebab itu, porsi sayuran dan buah-buahan segar menempati persentase 60-70 % dari seluruh menu satu hari. Sedangkan yang 30-40 % dibagi menjadi protein, zat pati, dan lemak. Dengan demikian keseimbangan asam-basa di dalam tubuh tetap terjaga.

Komposisi menu dasar KMS (dalam 1 hari)
Terdiri atas ;
• 1 menu protein + sayuran
• 1 menu zat pati + sayuran
• 1 menu buah-buahan

Contoh menu KMS
Bangun tidur :
1-2 gelas air putih campur sedikit perasan jeruk nipis (tanpa gula)
Makan pagi (Pk. 05.30-11.30)
Aneka buah/jus buah (kecuali nangka, durian, apokat, pisang) tanpa gula sepanjang pagi/setiap 1-2 jam sekali, porsi sesuai ukuran lambung jenisnya harus bervariasi setiap hari.
Makan siang* (Pk. 12.00-14.00)
Nasi + tahu/tempe + sayur asam + lalap mentah + sambal
Makan malam* (Pk. 18.00 – 21.00)
Ayam goreng + sup sayur + rujak pengantin
Selingan sore (Pk. 15.00-16.00)
Satu/dua buah pisang segar (tanpa digoreng/direbus) atau ¾ gelas susu kedelai/yogurt atau satu sendok teht madu alam murni
* Menu makan siang dan malam boleh saling bertukar tempat

Untuk membuang racun dalam tubuh pada pola makan KMS, juga dianjurkan melaksanakan puasa jus buah dan sayuran, artinya tidak makan yang lain hanya makan buah dan sayuran segar saja selama  2-14 hari tergantung kondisi tubuh dan tingkat keasaman dalam tubuh. Para pelaksana KMS ini masih diperbolehkan mengkonsumsi suplemen. Antara lain yang diperbolehkan ialah kapsul betakaroten, vitamin E, multivitamin, vitamin C, tablet kalsium, tablet magnesium, tablet enzim.
Marilah kita mulai mengubah sikap kita menjadi lebih positif demi kesehatan dan kebugaran tubuh kita dan yang lebih jauh untuk meraih kualitas hidup yang lebih tinggi. Kombinasi Makanan Seimbang ini dapat kita rasakan hasilnya minimal dipraktekkan 5 kali dalam seminggu selama satu bulan.
Komentar :

Buku ini sangat bagus dibaca oleh remaja dan orang dewasa apalagi dipraktekkan dalam kehidupan seehari-hari. Pola makan yang terdapat pada buku ini sangat bagus bagi kita untuk menjaga stamina tubuh meskipun pada awal pelaksanaannya mungkin cukup membuat kita merasa “aneh” dengan pola makan yang baru ini.
Pun demikian pola makan tersebut dapat dijadikan metode rujukan untuk membantu penyembuhan penyakit-penyakit yang sudah tidak dapat disembuhkan secara medis. Manfaat lain dari pola makan ini ialah penurunan berat badan yang efektif tanpa efek samping, peremajaan, dan peningkatan energi tubuh. Kegagalan yang terjadi biasanya karena informasi yang kurang atau salah mengeni cara tepat mengikuti pola makan ini. Saya pribadi berharap dengan saya memahami buku ini dan berusaha untuk mempraktekannya, saya mengajak seluruh guru/karyawan pun ikut mempraktekkannya juga, guna mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi serta untuk meningkatkan kinerja yang eksesnya akan membuat prestasi kerja kita menjadi lebih baik lagi. Insya Allah.

Disarikan dari :

Judul buku : Food Combining
Pengarang : Andang Gunawan
Penerbit : Gramedia
Tahun terbit : 2003
Jumlah Halaman : 179 halaman

Minggu, 26 April 2009

Continue Education 2008 Perlu dilanjutkan ?


Mochamad Ridwan, S.Pd. *)

Program Continue Education adalah wujud nyata Dinas Pendidikan Kota Surabaya untuk membentuk dan mencetak guru SD yang berkualitas dan layak mengajar. Besar manfaat yang dirasakan pengajar SD terutama yang selama ini ilmu yang mereka peroleh serasa mengalami penyegaran kembali. Manfaat yang aplikatif ini mengandung harapan agar pelatihan semacam ini perlu dilanjutkan dalam bentuk yang sama atau bahkan lebih baik dari ini dengan materi cakupan yang lain.


Mulai tanggal 19 Oktober sampai dengan 14 Desember 2008 program Continue Education yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Kota Surabaya bekerjasama dengan Universitas Negeri Surabaya dilaksanakan. Pelatihan ini diikuti oleh seluruh guru SD negeri dan swasta selingkup wilayah kerja Diknas Kota Surabaya terutama guru kelas jenjang kelas 4-6 SD. Pelatihan ini dilaksanakan bertempat di kampus Universitas Negeri Surabaya dengan sistematika 8 kali tatap muka / pertemuan, setara menempuh mata kuliah 2 SKS. Di akhir pertemuan diadakan ujian akhir dengan soal yang disesuaikan dengan materi pelatihan. Materi yang diberikan adalah Asesmen atau penilaian pembelajaran dan Pembelajaran Inovatif dengan tutor dosen dari Universitas Negeri Surabaya yang kompenten di bidangnya. Adanya program yang digulirkan Diknas ini semula disambut dingin oleh para guru SD dengan alasan program ini terkesan mendadak dan waktu pelaksanaannyapun bertepatan setiap hari Minggu. Tetapi kiranya karena tanggung jawab seorang pengajar untuk terus menambah ilmu dan pengetahuan serta memperoleh sertifikat penghargaan mengikuti pelatihan, maka peserta tetap mengikuti dengan antusias walaupun pelaksanaanya menyita waktu untuk keluarga.

Apa esensi dari Continue Education 2008 ini ?
Melihat dari itikad baik Pemerintah kota Surabaya dalam hal ini Diknas Kota Surabaya untuk memajukan pendidikan terutama memajukan kualitas dan kuantitas guru, mungkin inilah salah satu cara yang tepat dalam mewujudkan impian ini. Apalagi pemerintah pada tahun 2009 berencana menaikkan gaji PNS Guru menjadi minimal 2 juta per bulan, tidak berlebihan kiranya usaha menaikkan grade kualitas guru ini digulirkan. Pemerintah tidak mau kecolongan lagi dengan pengalaman–pengalaman sinis sebelumnya yang terjadi pada para pengajar ini. Guru tidak dipandang menjadi sekedar profesi yang biasa dengan penghasilan dan kemampuan yang seadanya, tetapi profesi dan kemampuan luar biasa sehingga generasi yang dibimbingnya menjadi generasi yang bisa bersaing diantara warga dunia bukan hanya sekedar berdemonstrasi apalagi disertai tindakan anarkis pengerusakan fasilitas. Untuk itu pemerintah Kota Surabaya melalui Diknas Pendidikan berusaha membuat guru-guru selalu dalam kondisi fress graduated. Salah satunya dengan diselenggarakan program continue education ini. Materi yang disampaikan dalam pelatihan inipun adalah materi yang dihubungkan dengan permasalahan sehari-hari yang selalu dihadapi oleh guru. Tujuannya jelas agar guru secara aplikatif mengamalkan ilmu yang didapat agar dunia pendidikan semakin maju berkembang.
Esensi yang kedua adalah berhubungan erat dengan program sertifikasi guru. Dengan semakin banyak guru mengikuti pelatihan-pelatihan pendidikan maka semakin banyak pula point yang dikumpulkan guru tersebut untuk mengikuti sertifikasi. Tetapi adalah naïf kiranya mengikuti pelatihan ini hanya mengharapkan sekedar kertas piagam atau sertifikat tanpa tahu dan ambil manfaat yang dibisa diaplikasikan dalam keseharian mengajar di kelas. Oleh karena itu program ini memang dirancang agar para guru khususnya guru SD bisa berkembang dan bertambah ilmu pengetahuannya.

Harapan Continue Education 2008
Bagi Diknas Kota Surabaya tentu program pelatihan ini adalah perbaikan kualitas dan kuantitas guru segera terwujud sebelum diberlakukannya anggaran 20% pendidikan oleh pemerintah yang insyaAllah rencananya mulai berjalan tahun 2009. Persiapan ini juga menjadi tantangan tersedianya guru-guru yang mampu menunjukkan prestasi di bidang akademik maupun pedagogis. Tidak menutup kemungkinan bahwa di kota Surabaya akan mempunyai beberapa guru bahkan semua yang menjadi pioner dalam percontohan guru-guru berkualitas di daerah lain. Memang benar adanya bahwa dunia pendidikan ujung tombaknya adalah guru. Ditangan guru tersebut mampu mengubah sejarah suatu bangsa. Bagi guru sendiri harapannya dengan adanya program pelatihan ini adalah pendalaman materi keguruan dan teknik-teknik penyampaian materi dalam proses kegiatan pembelajaran. Untuk pelatihan ini kebetulan materinya hanya seputar kemampuan penyampaian materi kepada siswa sebagai peserta didik, serta kemampuan menganalisis umpan balik dalam suatu proses pembelajaran. Tidak mudah bagi pengajar yang rata-rata pengalaman mengajarnya lebih dari 10 tahun tanpa pernah sesekalipun mencarge kemampuannya, bisa mengajar dengan baik. Fakta inilah yang membuktikan jika program pelatihan continue education 2008 ini perlu diikuti semua guru.
Nah apakah setelah selesai 14 Desember 2008 lalu kemudian program continue education ini dicukupkan sampai disini ? ataukah program ini hanya suatu try out bagi agenda Diknas Kota Surabaya?. Kemungkinan besar walaupun program pelatihan ini digelar tanpa sengaja, tetapi sudah menjadi hati bagi sebagian besar pengajar SD di Kota pahlawan ini. Manfaat yang diperoleh lebih besar kiranya sehingga bisa diaplikasikan di sekolah masing-masing, karena itu harapan kami sebagai guru-guru SD kiranya tidak berlebihan di tahun 2009, program pelatihan semacam ini bisa dilakukan lagi dengan materi yang berbeda sesuai dengan permasalahan-permasalahan kami yang kami hadapi di kelas. Begitupun pelayanan pihak Universitas Negeri Surabaya sebagai tempat pelatihan, bagi kami adalah menunjukkan kuantitas suatu pelatihan yang perlu diperhatikan lebih baik lagi. Memang agak terkesan tidak mengenakkan apabila terdapat oknum yang kurang ramah selama pelatihan berlangsung. Semoga semua ini mewakili ungkapan hati seluruh guru-guru SD negeri dan swasta yang mengikuti continue education 2008.

*) Guru SD Al Hikmah Surabaya

Minggu, 19 April 2009

MEMBUDAYAKAN KARYA TULIS UNTUK GURU

Mochamad Ridwan, S.Pd. *)

Begitu banyak tulisan atau buku bertemakan tentang pendidikan yang ditulis oleh seorang pakar pendidikan ataupun orang yang berkompenten dalam dunia pendidikan. Tetapi sangat jarang tulisan maupun buku-buku yang bertemakan pendidikan dikarang atau ditulis oleh seorang guru biasa. Artinya peran serta guru dalam menyumbangkan pikiran maupun ide mereka tidak disalurkan dalam bentuk tulisan.

Masih segar ingatan kita selama masa kuliah, begitu banyak tugas-tugas yang menuntut kita untuk membuat suatu tulisan, misalnya dalam laporan kunjungan, laporan praktek mengajar dan yang paling menentukan dalam kelulusan yakni karya tulis ilmiah atau skripsi. Akan tetapi setelah bertahun-tahun lulus dari bangku kuliah, kita seakan lupa akan proses pembuatan karya tulis seperti tersebut diatas. Apalagi rutinitas dan aktifitas mengajar adalah suatu pekerjaan yang sudah banyak menyita waktu. Dan hasilnya seorang guru terjebak dalam rutinitas belaka tanpa berusaha mengembangkan diri.
Dari para finalis lomba Karya Tulis Guru Tingkat Nasional tahun 2007 lalu yang diadakan Departemen Pendidikan Nasional, Propinsi Jawa Timur hanya mampu mengirimkan 23 finalis. Jumlah ini tidak sesuai dengan penghargaan Jawa Timur dalam perannya mengentaskan WAJAR 9 tahun oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Sedikitnya finalis LKTG Tingkat Nasional ini meyakinkan argumen saya tentang budaya membaca dan membuat karya tulis atau menulis untuk guru di Jawa Timur rendah sekali. Mengapa bisa begitu ?

Mengapa harus menulis
Pernyataan Prof Rahman menyentak hati nurani kita sebagai guru. Apakah kita sudah berkualitas? Tentu jawaban ini terserah pada masing-masing individu. Tetapi boleh saya mengargumentasikan kondisi pendidikan kita beberapa tahun kedepan. Saat ini dunia pendidikan atau masalah pendidikan adalah masalah yang sekian dari permasalahan negara ini. Anggaran pendidikan dalam APBNpun 20 % dari rencana awal dalam UU Sisdiknas masih tersendat-sendat. Tetapi untuk menyenangkan guru, pemerintah menjadwalkan agenda sertifikasi guru. Sertifikasi ini tujuannya adalah menjadikan guru Indonesia yang terampil, kompenten, dan profesional. Untuk menuju kesana dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dari calon penerima sertifikasi. Satu diantaranya adalah pengembangan diri termasuk pernah membuat karya tulis, buku, artikel, ataupun laporan penelitian. Diharapkan dengan pengembangan diri seorang guru ini pengetahuan keilmuan yang terdapat di dalam diri seorang guru bisa di merger dengan peserta didik.
Menulis dan membuat karya tulis pada dasarnya adalah berawal dari membaca. Seorang guru yang merasa sudah pintar dan tidak mau membaca memperbarui ilmunya, maka guru tersebut ketinggalan 1000 langkah dari muridnya. Ibarat kata murid sudah sampai Amerika Serikat dengan naik pesawat super cepat, sedangkan guru baru saja meninggalkan halaman rumahnya menuju Amerika Serikat dengan naik Sepeda Onthel. Dengan membaca, maka guru akan menemukan sesuatu yang baru pada dirinya. Sesuatu ini diharapkan mampu membuat dirinya lebih percaya diri, terutama terhadap muridnya. Membaca pula akan menemukan permasalahan–permasalahan baru sehingga perlu dengan cepat menyelesaikannya. Atau sebaliknya bagi guru yang menemukan permasalahan-permasalahan akan cepat terselesaikan dengan pengetahuan yang dimilikinya dari membaca. Nah, bagi seorang guru yang sering dan gemar membaca akan selalu merasa tidak ketinggalan dengan ilmu yang dimiliki muridnya. Jangan dikira murid kita sekarang adalah benda hidup yang mati atau dalam bahasa kasar adalah murid-murid itu identik dengan bodoh belum tahu apa-apa. Di zaman yang serba mutakhir ini, semua akses bisa dimengerti dan dipahami murid-murid kita, walaupun mereka di jenjang SD.
Tetapi apakah kita harus mewujudkan anggaran 20 % dulu dari pemerintah, kemudian baru menciptakan suatu yang menggemparkan ? Pepatah yang tidak asing lagi ditelinga kita bisa adalah karena biasa adalah sangat cocok untuk diterapkan dan digunakan kita sebagai guru. Karena pembiasaan diri maka kita akan bisa mencapai cita-cita. Membaca adalah kunci sukses dan kemudian menuliskan kembali hasil membaca adalah kunci pengembangan diri seorang guru. Membiasakan menulis juga adalah salah satu bentuk aktualisasi ide-ide cemerlang dari seorang guru yang bermanfaat bagi dirinya dan sudah barang tentu bermanfaat bagi murid-muridnya. Sedikitnya manfaat yang diperoleh guru membuat karya tulis adalah (1) meningkatkan kompetensi pendidik dalam mengajar dan mendidik; (2) mendayagunakan dan memanfaatkan hasil kerja kreatif pendidik semaksimal mungkin; (3) meningkatkan produktifitas publikasi ilmiah pendidik; (4) point untuk sertifikasi atau kenaikan pangkat/golongan. Kalau kita sudah bisa mengambil manfaat dari pembuatan karya tulis maupun tulisan, diharapkan apa yang dikatakan Prof. Arif Rahman di atas akan terwujud. Pendidikan bangsa Indonesia akan baik kalau guru-guru Indonesia berkualitas.

Masalah apa yang perlu ditulis ?
Sangatlah mudah mencari masalah untuk ditulis sebagai karya tulis kita. Semisal di sekitar aktifitas kita sehari hari yakni masalah-masalah selama mengajar di kelas. Kita bisa menulis tentang penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas adalah suatu penelitian yang didasarkan pada identifikasi masalah nyata dan faktor-faktor penyebab masalah aktual yang dihadapi pendidik dalam pembelajarannya. Jadi penelitian ini didasarkan dari permasalahan-permasalahan riil yang sehari-hari dihadapi oleh guru. Menurut Prof. Dr. Kisyani Laksono, M.Hum. kajian dalam penelitian ini meliputi masalah pembelajaran, desain dan strategi pembelajaran, alat bantu, media dan sumber belajar, sistem asesmen proses dan hasil pembelajaran, dan pengembangan pribadi peserta didik dan pendidik.
Penelitian Tindakan Kelas sendiri jarang sekali dilakukan oleh pendidik, padahal pendidik atau guru adalah orang yang terjun langsung setiap hari menangani siswa. Penelitian Tindakan Kelas bertujuan meningkatkan mutu isi, masukan, proses, dan hasil pembelajaran; membantu pendidik mengatasi masalah pembelajaran secara terncana dan berkelanjutan; meningkatkan kerja sama profesional diantara pendidik disemua jenjang dan jalur pendidikan; dan menumbuhkan budaya akademik di kalangan pendidik, sehingga tercipta sikap proaktif di dalam melakukan perbaikan mutu pembelajaran secara berkelanjutan. Dengan tujuan di atas kita bisa meraba-raba apa yang akan ditulis nantinya. Misalnya mengambil judul tentang peningkatan kemampuan menulis siswa kelas 5 SD Al Hikmah Surabaya dengan pendekatan komunikatif.
Masalah lain yang bisa dijadikan bahan untuk membuat karya tulis atau menulis adalah masalah-masalah atau peristiwa yang terjadi disekitar kita. Guru dituntut untuk mengetahui kondisi sekolah beserta isinya, juga dituntut mengetahui kondisi disekitarnya. Dalam hal ini guru diharapkan memiliki sikap proaktif terhadap apa yang terjadi dilingkungannya. Kajiannya bukan hanya masalah pendidikan tetapi luas sekali bisa mencakup masalah sosial, budaya, ekonomi maupun politik. Sebagai contoh menulis masalah budaya, lebih spesifik tentang mengangkat kesenian Kuda Lumping. Kita bisa menulis sisi sejarahnya, pemainnya, ataupun bentuk permainnya. Hasil tulisan ini bisa dibuat sebagai media pembelajaran, ataupun dijadikan sebuah artikel yang mengangkat masalah budaya. Dampaknya tentu luar bisa bagi semua kalangan dengan hasil tulisan ini. Gampang kan?

Kapan harus menulis ?
Pemasalahan berikutnya adalah kapan kita bisa menuangkan ide-ide dalam bentuk karya tulis atau tulisan ? Adalah pada dasarnya dari diri kita sendiri. Guru yang mau maju pasti bisa walaupun setiap hari banyak sekali rutinitas yang harus dikerjakan. Kalau berbicara masalah sibuk tentu semua guru di Indonesia pasti sibuk. Tetapi diantara kesibukan kita pasti ada waktu luang atau kosong yang bisa kita manfaatkan. Sebagai contoh dalam melakukan penelitian tindakan kelas, kita melakukan penelitiannya di dalam kelas, disaat mengajar. Di saat mengajar itu kita memantau kesulitan-kesulitan apa yang dihadapi siswa, metode apa yang bisa digunakan dalam menyampaikan materi, atau media apa yang seharusnya digunakan. Dengan demikian waktu lain yang semestinya untuk keluarga, tidak tersita banyak dalam membuat suatu karya tulis. Semoga kita semua bisa menjadi guru yang profesional dan berprestasi.


*) Guru SDBI AL Hikmah Surabaya

 
Loading...

News - Berita

Berita dari ...