Mencoba halaman baru

rss

3 berita pendidikan

5 Opini Terbaru

» script dari http://o-om.com/

Minggu, 29 Maret 2009

Suasana Haru dan Bahagia Mewarnai Pengumuman PMB di Al Hikmah


Adalah saat yang diunggu-tunggu oleh calon wali murid Al Hikmah, Sabtu, 28 Maret 2009 tepat pukul 08.00 WIB secara serentak mulai Kelompok Bermain, TK, SD, SMP, dan SMA diumumkan hasil observasi / Tes penerimaan di Al Hikmah. Berikut adalah salah satu suasana haru, bahagia, dan tegang mewarnai perasaan anak-anak dan wali murid yang melihat langsung pengumuman di SD Al Hikmah.


Kamis, 26 Maret 2009

Potong Kuku Pun Berpahala

Oleh : Muniroh, Guru SDBI Al Hikmah

Tangan anda pernah dipukul dengan penggaris oleh guru gara-gara kuku panjang? jika pernah, maka anda mengalami nasib yang sama dengan saya. Tapi itu dulu sekali ketika saya masih ada di bangku SD dan SMP. Bukannya tidak tahu bahwa membiarkan kuku panjang dan hitam itu jorok, tapi ya...namanya juga masih anak-anak. Banyak lupanya sama hal yang begituan karena yang ada di benak anak-anak ya cuma main, main dan main. Begitu tiba-tiba di sekolah kepala sekolah mengadakan razia kuku ke setiap kelas, baru deh bingungnya bukan main. Biar tidak kena pukul, berbagai macam cara dilakukan. Ada yang cepet-cepet kukunya dipotong pakai gunting (gunting biasa, karena gunting kuku masih langka saat itu), ada yang pakai silet, dan jalan terakhir kalau terpaksa tidak ada gunting dan silet, ya pakai gigi. Itu pun kalau keburu. kalau ga' keburu, "ndakk!" alamat deh kena pukul garisan panjang.

Bisa jadi di beberapa sekolah hal tersebut masih anda jumpai sampai saat ini. Padahal sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi. Satu hal yang saya pelajari dari sekolah tempat saya sekarang mengajar, bahwa ada cara yang lebih baik untuk membuat anak-anak mau memotong kuku tanpa harus dipaksa atau ditakut-takuti dengan pukulan. Yaitu melalui pembiasaan. Dan sejauh yang saya amati itu lebih efektif daripada melalui ancaman dengan pukulan.

Namun, pembiasaan yang seperti itu tidak instan. Anak-anak terlebih dahulu diberi pengertian tentang betapa pentingnya memotong kuku. Terlebih lagi bagi seorang muslim memotong kuku merupakan salah satu fitrah dan sunnah rasul yang mesti senantiasa dilakukan di setiap hari jum'at. Artinya memotong kuku adalah bagian dari ibadah. Dan otomatis karena itu ibadah berarti kalau dilakukan dengan ikhlas pasti dapat pahala. Dalam Islam juga seringkali digemborkan bahwa kebersihan sebagian dari iman. Bagaimana imannya jadi baik kalau menjaga kebersihan kuku saja tidak bisa.

Seiring dengan pemahaman hal tersebut terhadap anak-anak, pembiasaan juga dilakukan dengan kontrol yang baik, konsisten dan kontinyu dari para guru.

Jika anda datang ke sekolah saya pada hari jum'at pagi, maka saya dapat pastikan anda akan menjumpai beberapa anak-anak tanpa diperintah mereka akan menunjukkan kedua tangannya kepada ustad/ustadzah yang telah berdiri di ambang pintu untuk menyambut kehadiran mereka di kelas. Bagi mereka yang merasa kukunya belum bersih dengan sendirinya mereka akan minggir untuk tetap berdiri di luar untuk memotong kuku sampai bersih. jika tidak punya pemotong kuku sendiri, mereka akan sabar menunggu temannya selesai memotong agar dapat bergantian meminjam pemotong kukunya. Pemandangan ini akan anda jumpai di setiap jum'at pagi.

Apakah ada rasa takut tampak di wajah mereka yang berada di luar? saya pastikan tidak akan ada. Karena memang mereka tidak sedang dihukum. Mereka hanya perlu memotong kuku mereka sampai bersih dalam rangka menunaikan sunnah rasul di setiap hari jum'at, kemudian mereka dapat masuk kembali ke kelas seperti biasa. Kadang bagi sebagian mereka yang sudah mulai tumbuh remaja dan ingin memelihara kuku yang panjang yang indah sebagaimana tren yang ada, kegiatan ini jadi tidak menyenangkan. Mereka akan mencoba merayu ustadz/ustadzahnya untuk diizinkan memelihara kuku panjang. Di sinilah tugas ustadz/ustadzah untuk meyakinkan kembali mereka, dan biasanya selalu berhasil. Pada akhirnya mereka akan memotong kuku mereka meskipun harus melalui diskusi panjang.


Andai dari dulu saya tahu bahwa potong kuku berpahala pasti saya akan dengan senang hati melakukannya, tanpa harus kena pukul penggaris panjang. Aduh, sakit! seakan-akan sakitnya masih terasa sampai hari ini.

Sebagai bahan renungan, baginda Rasul saw. pernah bersabda:

"Fitrah manusia ada lima yaitu dikhitan (disunat), mencukur rambut kemaluan, menggunting (merapikan) kumis, memotong kuku (kuku tangan dan kaki) serta mencabuti bulu ketiak." (HR. Bukhari)


"Wahai Abu Hurairah, potonglah (perpendek) kuku-kukumu. Sesungguhnya setan mengikat (melalui) kuku-kuku yang panjang." (HR. Ahmad)


Selasa, 24 Maret 2009

Olimpiade Sastra, Sebuah Langkah Maju

[ JP Minggu, 22 Maret 2009 ]
Oleh : Dwi Indriyanti, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SD Al Hikmah, Surabaya

Rencana Depdiknas menggelar olimpiade sastra untuk tingkat SD pada 2009 merupakan terobosan di dunia pendidikan. Selama ini, olimpiade identik dengan dua bidang studi, yakni matematika dan sains. Penyelenggaraan dua olimpiade tersebut bahkan sudah menjadi agenda tahunan. Karena itu, rencana tersebut dapat dikatakan langkah maju.

Sudah jamak dalam pandangan orang awam, bahkan mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan, bahwa kepintaran seseorang dilihat dari perolehan nilai matematika atau sains. Anak yang mendapatkan nilai tinggi pada mata ajar tersebut mendapat label pandai atau cerdas. Sedangkan, mereka yang memiliki kelebihan di bidang humaniora (sosial), bahasa, dan sastra tetap dianggap memiliki "kekurangan."

Sering, anak atau guru yang mumpuni di dua bidang itu (matematika/sains) dielu-elukan saat mereka memenangi kejuaraan. Sekolah juga rela mengeluarkan biaya besar untuk mencetak jawara-jawara dua mata pelajaran tersebut. Sebaliknya, siswa yang menang lomba puisi diperlakukan beda, dianggap "penggembira", bahkan tak jarang dipandang sebelah mata.

Ada beberapa hal yang melatari terpinggirkannya pengajaran sastra. Pertama, persentase pengajaran sastra pada kurikulum kita kecil sekali dibandingkan mata pelajaran lain. Pengajaran sastra di SD boleh dibilang hanya sebagai pelengkap. Di kelas 4, misalnya, pengajaran sastra hanya ada di semester 2, itu pun dengan porsi kecil. Jumlah jam pengajaran bahasa dan sastra juga lebih sedikit dibandingkan mata pelajaran lain.

Kedua, kebanyakan pengajar hanya mengajarkan sastra sebatas teori dan hafalan, tidak menekankan pada apresiasi. Boleh jadi, itu disebabkan guru kurang memiliki kemampuan dan apresiasi di bidang sastra. Karena pengajarannya kurang menarik, siswa jadi tak tertarik.

Ketiga, kurangnya bahan bacaan sastra. Bagi sekolah yang memiliki perpustakaan memadai, ketersediaan buku bacaan sangat mencukupi. Sehingga, siswa dapat membaca beragam buku sastra. Namun, sebagian besar sekolah belum memiliki perpustakaan yang baik. Itu diperparah rendahnya minat baca.

Keempat, ada pandangan bahwa mempelajari satra hanya buang-buang waktu, tidak ada gunanya. Jurusan IPA juga dipandang jauh lebih baik daripada jurusan IPS dan bahasa. Karena itu, pengembangan di bidang sastra dianggap tidak perlu. Lebih ironis lagi, pembinaan guru matematika dan IPA lebih diutamakan daripada guru bahasa dan sastra.

Melihat marginalisasi sastra tersebut, rasanya perlu kita renungkan beberapa hal berikut. Pertama, sesungguhnya pengajaran sastra memiliki peran besar dalam penanaman nilai kehidupan dan kemanusian pada siswa. Simak saja anekdot berikut. Mengapa orang Jepang bisa menjadi negara maju, sementara kita tidak? Yang membedakan adalah saat kita kecil dulu, yang sering diperdengarkan kepada anak adalah cerita Kancil Mencuri Ketimun. Yang didengar anak Jepang, di sisi lain, adalah cerita Katak Hendak Menjadi Raja. Karena itu, bangsa kita punya sederet koruptor.

Bisa jadi, itu bukan sekadar anekdot. Pengajaran sastra yang memotivasi memang merupakan investasi masa depan bagi moral bangsa, demikian pula sebaliknya. Orang bijak berkata, jika seseorang gemar membaca karya sastra, dia akan jadi orang yang dapat menghargai orang lain. Karena itu, dunia akan menjadi damai, tak ada pertengkaran, tak ada perang.

Kedua, penghargaan terhadap karya sastra merupakan pengakuan bahwa sastra setara dengan ilmu lain. Di negara maju, penghargaan terhadap karya sastra dan sastrawan jauh lebih baik. Bahkan, saat pelantikan salah satu presiden Amerika Serikat, pernah ditampilkan pembacaan puisi. Karena itu, buku sastra berkembang pesat. J.K. Rowling, penulis Harry Potter, juga menjadi salah satu orang terkaya di Inggris.

Di Indonesia, pengakuan terhadap karya sastra mulai menunjukkan peningkatan. Salah satunya adalah fenomena Laskar Pelangi. Penulis novel itu menerima royalti tak kurang dari Rp 4,5 miliar (Edi S. Mulyanta, 24/11).

Karena itu, langkah pemerintah mengadakan olimpiade sastra tingkat SD sebagai penghargaan terhadap siswa yang mendalami satra perlu didukung. Sebagai bagian dari elemen pendidikan, kita perlu mengupayakan agar wajah pendidikan tak lagi berpihak pada mata ajar tertentu. Sehingga, kita bisa menerima talenta siswa sebagai kelebihan yang sama. (soe)


tERJEMAHKAN

Kolom

Label:
Recent Posts
Widget by: Info Blog
 
Loading...

News - Berita

Berita dari ...